Sabtu, 09 Maret 2013

MAKALAH TEKS KLASIK
Tentang
TULISAN ARAB MELAYU DI NUSANTARA


Oleh :
Gimin Saputra           :           110.084
Rahma Wirna            :           110. 011
M. Kadri                    :           110.032
Nuraida                      :           110.070
Itra Antoni                 :           110.009
                        Dosen :
       Drs. Muhapril Musri, M.Ag.
             Siti Aisyah, M. Hum.
JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (SKI )
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOLPADANG
1433 H / 2012 M

PENDAHULUAN
            Disamping bahasa, tulisan merupakan sebuah alat komunikasi manusia dari zaman dahulu sampai sekarang ini. Setiap kelompok manusia pada umumnya memeliki aksara sendiri. Tulisan yang ada pada zaman sekarang ini berasal dari rumpun tulisan
            Keberadaan tulisan dalam masyarakat sangat berperan penting. Dengan tulisan ini, manusia mampu berkomunikasi meski memakan jarak yang cukup jauh. Di nusantara tulisan yang berkembang ialah tulisan arab melayu. Tulisan arab melayu adalah tulisan Arab yang diadaptasikan oleh bahasa Melayu untuk pengejaannya seperti yang kita pahami sekarang ini. Artinya huruf yang dipakai adalah huruf-huruf Arab dengan bahasa Melayu, atau dengan ejaan Melayu. Di tempat lain tulisan Melayu ini disebut dengan Arab Jawi atau sejenisnya.
            Indonesia memiliki beraneka ragam bahasa daerah, masing-masing memiliki aturan penulisan sendiri menggunakan aksara tradisionalnya yang khas. Apresiasi terhadap berbagai aksara tradisional ini masih tampak misalnya dari mata pelajaran bahasa daerah di tiap daerah. Penggunaan aksara-aksara tradisional ini di berbagai sudut kota juga merupakan bukti bahwa, walaupun aksara ini telah hampir sepenuhnya tergantikan oleh aksara latin, sebenarnya bangsa kita masih cinta dan bangga atas kekayaan negeri kita yang satu ini.









PEMBAHASAN
TULISAN ARAB MELAYU DI NUSANTARA
1.      SEJARAH TULISAN ARAB MELAYU SAMPAI KE NUSANTARA
            Arab Melayu adalah aksara utama dalam penyebaran bahasa Melayu ke seluruh wilayah Nusantara; yang penggunaannya dimulai seiring dengan kedatangan agama Islam ke kepulauan Melayu ini. Disebut Arab Melayu, karena merupakan huruf-huruf Arab yang sengaja diubah untuk mewakili bunyi bahasa Melayu. Seni penulisan ini juga dikenal dengan nama Jawi, Jawoe, Kawung; dan untuk tulisan Arab Melayu yang berbahasa Jawa disebut Pegon. Walau apapun sebutannya pada tiap wilayah, dalam tulisan blog ini hanya akan disebut dengan nama Arab Melayu saja.
            Mengenai tulisan Arab pernah di bicarakan oleh Othman Mohd Yatim yang mengatakan bahwa diantara sumbangan Islam yang besar bagi rakyat kepulauan melayu Indonesia ialah dampaknya kepada perkembangan bahasa Melayu. Dengan kemajuan Islam dan konsekwensinya kerajaan-kerajaan melayu menganut agama Islam maka tulisan Arab dan tulisan jawi dikenalkan dan diterima oleh orang melayu sebagai media penulisan bahasa melayu. (Yatim, 1988:60-61).
            Tulisan Jawi telah lama ada dalam khasanah kebudayaan Melayu yang diperkirakan sekitar abad ke 10 Masehi atau 3 Hijrah hingga kemasa kini dan ia berasal dari pada tulisan Arab. Keberadaan tulisan Arab Melayu di Nusantara identik dengan penyebaran islam ke daerah melayu.
            Masa sejak awal abad ke-13 M sampai penghujung abad ke-15 M dalam khazanah kesusastraan melayu disebut masa peralihan,yaitu masa peralihan dari peradaban Hindu ke peradaban Islam. Dengan masuknya peradaban Islam,orang melayu mulai mengenal tradisi tulis. Sebelumnya, mereka hanya memiliki tradisi lisan. Aksara Jawi sudah wujud dan digunakan di wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaya jauh sebelum orang/pulau Jawa memeluk agama Islam (883 H/1468 M).
            Manuskrip Islam tertua di kepulauan Nusantara ditemukan di Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14). Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.
            Yang kedua, masih di abad 14, pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Keka\halifahan Islam lain di Semenanjung Malaka (Musa, 2006:8-10).
2.      PERKEMBANGAN TULISAN ARAB MELAYU DI NUSANTARA
            Pengunaan tulisan Arab melayu makin mengalami perkembangan yang itu terlihat saat kerajaan Aceh Darussalam yang pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (1589-1604 M) dan puncaknya pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) sejak abad 14. Sedangkan abad 17 itu kemajuan dari tulisan Arab Melayu nampak betul. Karena di kerajaan Aceh Darussalam ada pemikir ahli agama, sastrawan yang terkenal seperti Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani/Pasai, Bukhari al-Jauhari, Naruddin al-Raniri, Abdul Rauf al-Singkili dan sebagainya. Hamzah Fansuri pernah mengatakan bahwa ia banyak menerjemahkan kitab-kitab dalam bahasa Arab dan Persia ke dalam bahasa Arab Melayu untuk bangsanya yang tidak mengenal bahasa Arab dan Persia. (Tjandrasasmita, 1993, 194).
            Perkembangan tulisan Arab Melayu ini dapat di lihat di berbagai daerah di Nusantara seperti Jawa, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Persebaran ini di lakukan oleh ulama Aceh yang merupakan penulis kitab-kitab yang berbahasakan Arab Melayu ini biasanya berbentuk naskah yang sebagaimana masih ada sebahagian dapat kita jumpai pada zaman yang modren ini. Sedangkan tulisan pada naskah di Nusantara pada umumnya berbentuk huruf Sulus, Naskhi dan Nasta’liq.
            Di daerah Aceh itu ada ulama-ulama yang banyak menulis tentang naskah yang bertulisan Arab Melayu antara lain:
a.       Hamzah Fansuri
            Dengan karangannya Syarab al-Asyikin, Asra al-Arifin dan Al-Muntahi, Kitab Syarab al-Asyikin (minuman orang Birahi) di angap karyanya yang paling pertama dan sekaligus di tulis dalam bahasa Melayu. (Abdul Hadi, 2003: 110).
b.      Syamsuddin al-Sumatrani
            Ini merupakan salah satu murid dari Hamzah Fansuri yang juga menulis naskah bertulisan Arab Melayu dalam karangannya Mir’at al-Mu’min, Syarh Rubba’I Hamzah al-Fansuri, Jauhar al-Haqa’iq.
c.       Naruddin al-Raniri
            Karya dari Naruddin ini seperti fikih, tasawuf dan serta kesejarahan. Naruddin ini selain memberikan riwayat hidupnya dia juga memberikan daftar karangannya yang berjumlah 32 buah baik dalam bahasa Arab maupun Melayu. Tetapi Al-Raniri ini lebih pandai mempergunkan bahasa Jawi dari pada bahasa Arab.
d.      Abdul Rauf Al-Singkili
S          ejumlah karyanya itu ditulisnya di bidang keagamaan seperti fikih, sufisme, dan kumpulan hadis. Kitabnya yang beredar adalah Tarjuman Al-Mustafid. (Azra, 1994:204).
                        Selain Aceh sebagai pusat penulisan kata Jawi, Palembang pada zaman Kesultanan juga banyak melahirkan ulama-ulama anatara lain: Syihabuddin, Kemas Fakhruddin, Muhammad Muhyiddin, Kemas Muhammad, dan yang paling menonjol adalah ‘Abdussamad Al-Palimbani dengan karyanya dalam bahasa Melayu ialah Zuhrat Al-Murid fi Bayan Kalimat Tauhid yang membahas tentang logika. Sebenarnya perkembangan tulisan Melayu ini berkembang pada masa Kesultanan Palembang saat Sultan Jamaluddin dan Sultan Abdur Rahman yang berkuasa. Sedangkan tulisan melayu yang paling awal adalah Seribu Masa’il  (1712).  (Azra, 1994:345).
                        Khususnya di daerah Sumatera itu masih banyak lagi pusat penulisan naskah yang bertulisan Arab Melayu diantaranya seperti di daerah Riau yang berpusat di pulau Penyengat sejak abad 18-19 M. Tokoh yang terkenal diantaranya adalah Engku Haji Ahmad, dan putranya yang bernama Ali Haji. Adapun karyanya adalah Sair Hukum Nikah, Syair Hukum Fara’id dan lain sebagainya. (Yundiafu, 2003: 162). Raja Ali Haji juga membuat karya tulis yang bersifat panduan untuk raja-raja di bidang ketatanegaraan dan nasehat seperti Samarat Al-Muhimmah Diyafah lil-‘umara wal-Kubara li Ahlil-Mahkmah, Syair Nasihat, dan Gurindam Dua Belas.
                        Selain Raja Ali Haji dan ayahnya Engku Haji Ahmad ada pengarang yang terkenal diantaranya Raja Daud bin Raja Ahmad yang mengarang Syair Pangeran Syarif Hasyim dan Encik Kamariah yang menulis tentang Syair Sultan Mahmud di Lingga.
            Di daerah Kerinci itu terdapat 92 naskah yang berbahasa Arab Melayu yang isinya berupa piagam dan undang-undang.  Semantara di Sumatera Barat masa dahulu tempat penulisan naskah berbahasa Melayu terdapat di Pagaruyung yang merupakan pusat kerajaan. Naskah ini berisikan tentang sejarah (tambo), Undang-undang, dan sayir-syair. (Djamaris, 2004: 130).
                        Naskah melayu juga terdapat di NTB yaitu Lombok dan Bima. Naskah-naskah di Lombok yang berbahasa Melayu diantaranya Istra’ Mi’raj, Hikayat Abu Nawas, Cerita-Certia Nabi Muhammad dan lain sebagainya. Sedangkan di Bima itu ada naskah tentang Bo, Do’a, Filsafat, Hikayat, Silsilah, Surat Keputusan dan lain sebagainya. (Rukmi, 2004: 185).
                        Sedangkan di Indonesia bahagian Timur yaitu di Maluku juga terdapat naskah-naskah bertulisan Arab Melayu terutama di Ternate dan Tidore yang menjadi pusat kesultanan sejak abad 16 M. Naskah di Maluku ini di kelompokan kebeberapa bagian yaitu geografi, sejarah dan cerita rakyat, perjanjian dan kontrak, laporan catatan surat, pamberitahuan, peringatan, bahasa dan sastra. Diantara surat yang tertua dari Ternate yang sekarang tersimpan di Arsip Nasional, Libson yang merupakan dari Sultan Abu Hayat kepada raja Portugal pada tanggal 2 April dan November 1521. (Musa, 2006: 42). Diantara hikayat yang terpenting di Maluku ini adalah Hikayat Tanah Hitu yang di tulis oleh Rijali pada pertengahan abad ke-17. Naskah ini berada di Perpustakaan Universitas Leiden.
                        Dari Indonesia paling Timur, selanjutnya kita ke arah Barat yaitu ke Buton, Sulawesi, dan Kalimantan. Naskah di Buton selain berbahasa Wolio juga terdapat dalam bahasa Melayu, antara lain karya Muhammad Isa Qaimuddin, Istiadat Tanah Negeri Butun yang ditulis pada masa pemerintahan Sultan Butun XXX (1621-1871). Kemudian Haji Abdul Gani menulis dalam bahasa Melayu yang judulnya Mir’at a-Tanah dan Kebun Segala Saudara di Dalam Berkat Ibadah Kepada Tuhan yang kemudian dikenal dengan Hikayat Negeri Butun. (La Niampe, 2004: 172). Sejumlah naskah dalam bahasa Melayu di Sulawesi Selatan telah dicatat dalam Khazanah Naskah yang disusun oleh hanri Chambert-Lion dan Oman Fathurahman, dianta lain yang ada di Universitas Hasanuddin, di Mesium Negeri Provinsi Sulawesi Selatan, La Galigo Ujung Padang, di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
                        Dari daerah Kalimantan kita kenali naskah-naskah yang pernah ditulis dalam bahasa Melayu seperti di daerah Banjarmasin. Tulisan naskah Melayu ini seperti Undang-undang, Sejarah, Keagamaan, surat-surat dan lain sebagainya. Dari naskah yang berisi undang-undang dianataranya dalah Undang-Undang Sultan Adam. Sedangkan contoh yang bersifat sejarah adalah Hikayat Bandjar, dan Sisilah Pangeran Antasari. Ulama yang terkenal menulis pada abad ke-18 di Kalimantan ini adalah Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812). Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari ini juga dimasukan sebagai ulama pembaruh abad 18 dan ahli fikih atau syari’at dengan kitabnya Sabil Al-Muhtadin. (Azra, 1994: 251). Tidak hanya itu dia juga ahli dalam bidang tasawuf dan astronomi dengan tulisannya Ilmu Pertanian dan Ilmu Falak.
                        Naskah di Banjarmasin ini terdapat di Museum Lambung Mangkurat, tentang syair dan hikayat ada 50 naskah, di Yayasan Pendidikan Islam Pagar Alam, Martapura tentang ilmu falak, fikih, Al-Qur’an, kitab Mantik dan lain-lain ada 10 naskah, di Perpustakaan Nasional di Jakarta juga terdapat naskah dari Banjarmasin antara lain Hikayat Bandjar dan Kota Waringin, Undang-Undang Kota Waringin dan lainnya ada 11 naskah, di Perpustakaan Universitas Leiden dicatat ada 26 naskah. (Mu’jizah, 2004: 158).
                        Sedangakan tuliasan Arab Melayu di Jawa itu dapat kita jumpai dalam bentuk naskah seperti Hikayat Hasanuddin di Banten yang diperkirakan dari abad ke 18 M. Merupakan karya Moehammad Saleh, cucu Sultan Abdul Mufakhir Muhmud Abdulkadir (Edel, 1938: 10-11). Di Betawi juga terdapat hasil karya tulisan Arab Melayu (Jawi) ini bisa diketahui melalui daftar yang di buat oleh Mu’jizah. Yang daftar bukan hanya di Jakarta saja tetapi juga terdapat di luar negeri. Naskah Betawi ini di kelompokkan yang terdiri dari Hikayat-Hikayat, dan Syair-Syair. (Mu’jizah, 2004: 179).
                        Begitu banyak jumlah naskah yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dari Aceh sanpai ke Tarnate-Tidore. Sedangkan awal perkembangan pengunaan tulisan Jawi dan bahasa Melayu sejak abad ke 14 yang sebagai bukti kongkritnya ada lah Batu Bersurat Terengganu dan Hikayat Raja-Raja Pasai yang terdapat di Pasai. Kemudian perkembangan penggunanannya terutama dalam penulisan naskah-naskah sastra klasik, surat-surat, perjanjian-perjianjian, dan lain sebagainya.
                        Wilayah Aceh merupakan penyumbang terbesar dalam penulisan naskah Islam baik yang bertulisan Arad dan Arab Melayu di Nusantara. Ini di karenakan oleh kerajaan besar Islam yang pertam muncul di Samudera Pasai (1270-1514) dan kemudian digantikan oleh Aceh Darussalam (1514-1700). Disamping kesultanan kerajaan Islam terbesar di nusantara juga merupakan pusat peradaban Islam terpenting di Asia Tenggara sebelum datangnya kolonial. Sedangkan tempat penulisannya tersebar luas di berabagai pelosok di Nusantara. Dari Aceh sampai Madura, dari Gorontalo di Sulawesi sampai Banten di Jawa Barat, dari Pontoianak dan Banjarmasin di Kalimantan hingga Lombok dan Bima di Nusa Tenggara, dari Solo dan Yogyakarta hingga Ternate dan Ambon di kepulauan Maluku. Adapun aksara yang digunakan sebahagian besar bertulisan Arab Melayu.
3.      KEBERADAAN TULISAN ARAB MELAYU PADA ZAMAN MODERN
                        Penggunaan tulisan Arab Melayu (Armel) atau Tulisan Jawi (Tulwi) di Indonesia sekarang bisa dikatakan sudah hampir punah. Kalau pun dipelajari pada Pondok Pesantren, lebih mengutamakan tulisan Arab gondol/Kitab Kuning. Demikian kondisinya juga pada sekolah-sekolah umum, tidak pernah lagi diajarkan kepada murid.
                        Seiring dengan perkembangan zaman, lambat-laun tulisan ini ditinggalkan masyarakat. Bukan berarti model tulisan ini tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, tidak sama sekali, namun yang menyebabkan Ia ditinggalkan karena kebijakan dari pemerintah kita sendiri.
                        Salah satu contohnya, pada tahun 70-an hingga 80-an pemerintah menggalakkan program penuntasan buta aksara. Seluruh masyarakat diajarkan membaca latin. Jika saja ada yang tidak bisa membaca tulisan latin, maka mereka dicap sebagai buta aksara, sekalipun Ia mampu dan lancar menulis dan membaca Arab Melayu. Artinya pada masa itu pemerintah tidak mengakui Arab Melayu yang telah melekat di tengah masyarakat kita. (http://rasausati.blogspot.com/2011/10/mengenal-arab-melayu.html.).
                        Meskipun pengunaan Arab Melayu di Nusantara sudah mulia menghilang namun ada juga sebagian daerah yang juga memakai tulisan Arab Melayu baik itu untuk pendidikan di sekolah dasar yang di kenal dengan Muatan Lokal juga terdapat tulisan Arab Melayu untuk nama jalan dan kantor hal ini dapat kita di jumpai di daerah Riau yang sekarang masih mengunakan Arab Melayu.                    
                                                                                                                                             
          
Papan Nama RSUD Arifin Achmad yang menggunakan Tulisan Arab Melayu

4.      KEGUNAAN DAN FUNGSI ARAB MELAYU
            Dari paparan di atas dapat kita tarik berberapa fungsi dari tulisan Arab Melayu di kalangan kerajaan dan masyarakat Nusantara pada umumnya. Dianatar fungsinya adalah seabagai berikut:
a.       Fungsi pengunaan bahasa Melayu di Indonesia yaitu dalam perdagangan sehingga bahasa Melayu menjadu Lingua Franca.
b.      Fungsinya dalam bidang keagamaan itu terbukti dari banyaknya naskah-naskah Melayu yang isinya mengenai Fikih, Syariat, Tasawuf Atau Suluk, Teologi, Tafsir, Ilmu Falak,dan lain sebagainya.
c.       Berfungsi untuk melakukan perjanjian-perjanjian antara kerajan-kerajan Islam dengan negara asing seperti Eropa. Hal ini terbukti dengan banyaknya surat menyurat, contohnya surat Sulatan Aceh yaitu Sutan Alaudiin Ri’ayat Syah tahun 1602 kepada Harry Middleton dan Sultan Iskandar Muda tahun 1615 keapad Raja James I. Juga Sultan Abu Hayat dari Ternate kepada Raja Portugal tahun 1521.
d.      Dalam pembuatan Undang-Undang itu banyak terdapat naskah-naskah Melayu seperti Undang-Undang Minang Kabau, dan Undang-Undang Sultan Adam.
PENUTUP
KESIMPULAN
            Tulisan arab melayu yang kita dengar pada zaman sekarang ini merupakan sebuah pengembangan dari tulisan arab yang disesuaikan dengan bahasa melayu. Bahasa arab yang datang ke daerah nusantara beserta tulisannya yang dibawa oleh para pedagang islam dari arab sangat mempengaruhi adanya tulisan di daerah nusantara khusunya bagi orang-orang melayu.
            Tulisan ini semakin berkembang dari tahun ke tahun. Tulisan arab melayu masih belum diketahui siapa tokoh pertama yang memakai tulisan ini. Tetapi tanda keberadaannya sudah diketahui melalui hasil penelitian yang ditemukannya sebuah prasasti pada zaman kerajaan melau di Nusantara.
            Penggunaan lambang huruf Arab Melayu tidak hanya terjadi antar sesama bangsa Melayu, namun juga dengan bangsa lainnya, khususnya Eropah. Penulisan Arab Melayu antar bangsa ini meliputi perjanjian dagang, surat-menyurat antar raja-raja Melayu dengan pemerintah Eropa, dan lain sebagainya. Arab Melayu tidak hanya didominasi oleh Islam. Banyak produk obat dan makanan asal Eropah dan Cina yang juga menggunakan Arab Melayu dalam kemasan produknya. Bahkan pada tahun 1890-an, Abdullah Munsyi, Malaysia, dipercayakan pemerintah Hindia Belanda untuk menulis Al-Kitab (Injil) yang bertulisan Arab Melayu untuk kepentingan Misionaris Eropa. Injil ini masih tersimpan dalam museum di Banjarmasin.
            Mulai 1960-an, Arab Melayu akhirnya benar-benar terpinggirkan. Setiap orang dituntut harus mampu membaca latin. Semua kitab pelajaran pada sekolah pribumi hingga madrasah mulai dirambah oleh tulisan latin. Ditambah lagi pada tahun 1980-an, keberadaan tulisan Arab Melayu secara nasional seakan ‘dijajah’ oleh adanya upaya pemberantasan buta huruf. Orang-orang tua kita dinista karena tidak dapat tulis-baca huruf latin dan dicap sebagai buta huruf, meskipun mereka mampu tulis-baca aksara Arab Melayu. Sementara bagi mereka yang mampu tulis-baca latin, walaupun tidak tahu tulis-baca Arab Melayu, tidak mendapat penistaan ‘buta huruf’. Akibatnya, generasi Melayu yang lahir di atas tahun 1970-an banyak yang buta aksara Arab Melayu bahkan tidak mampu membaca al-Quran.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadi W. M, 2003, Adab dan Adat Refleksi Sastra Nusantara, Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional.
Azra, Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XIII, Bandung: Mizan.
Djamasri, 2004, Tempat-Tempat Perkembangan Sastra Melayu Sumatera Barat, Sastra Melayu Lintas Daerah, Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional.
Edel, Jon, 1938, Hikayat Hasanoeddin, Drukkerj n Unitgeverszaak B, Ten Drink Meppel.
La Niampe, 2004, “Buton” Sastra Melayu Lintas Daerah, Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional.
Mu’jizah, 2004, “Naskah-Naskah di Banjarmasin, di Betawi”, Sastra Melayu Lintas daerah, Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional.
Musa, Hashim Haji, 2006, Sejarah Perkembangan Tulisan Jawi, Edisi Kedua, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.
Rukmi,  Maria Indra, 2004 Naskah-Naskah di Lombok ditulis dalam Sastra Melayu Lintas Daerah, Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional.
Tjandrasasmita, Uka, 1993, Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia III, Edisi ke-4, Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, PN, Balai Pustaka.
Yatim, Othman Mohd, 1988, Batu Aceh Early Islamic Gravestones In Peninsular Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.
Yudiafi, Siti Zahra, 2003, “Tuhfat Al-Nafis: Sumber Sejarah Riau”, Adab dan Adat Refleksi Sastra Nusantara, Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional
http://rasausati.blogspot.com/2011/10/mengenal-arab-melayu.html.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar