Sabtu, 09 Maret 2013



TRADISI YANG TELAH HILANG YAITU MENGGILANG TEBU DI DESA TELUK BERINGIN KECMATAN GUNUNG TOAR KABUPATEN KUANSING PROVINSI RIAU
Provinsi Riau merupakan Provinsi yang dibilang sangat maju pada zaman sekarang. Provinsi yang dikenal sebagai penghasil minyak bumi, kelapa sawit, dan karet, juga dikenal dengan hasil budaya yang sangat beragam. Provinsi Riau yang ibu kotanya adalah Pekan Baru yang terdiri dari beberapah daerah yaitu daerah ditepi laut (kepulauan), dan daerah Riau perdalam. Masyarakat  Riau Kepulauan, yaitu yang terdiri atas, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Kepulauan Anambas, kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna, Kota Batam, dan Kota Tanjung Pinang. Sedangkan Masyarakat  Riau daratan, terdiri atas  yaitu Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hilir, Kota Dumai, Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Siak, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan Hulu, dan Kabupaten Kuantan Singingi.
Dimana setiap Kabupaten di Provinsi Riau itu memiliki tradisi dan budaya yang diciptakan oleh masyarakatnya sendiri. Seperti budaya Bertobo yang terdapat di Kabupaten Kampar, dimana budaya bertobo ini merupakan salah satu kesenian anak negri melayu yang merupakan perkumpulan muda-mudi untuk turun ke sawah atau ladang. Biasanya kegiatan batobo ini dilakukan pada musim turun kesawah atau ladang yang diiringi dengan bunyi-bunyian oleh kesenian tradisi, dan pada masa panen hasil sawah dan ladang dinamakan acara penutupan tobo diadakan tradisi makan bersama do’a yang diramaikan degan  kesenian, seperti randai atau saluang.
Budaya bertobo pada zaman yang serba canggih ini masih bertahan dan masih dapat kita jumpai terutama di dalam masyarakat perdesaan yang hidup bertani. Meski budaya bertobo ini masih dijumpai pada zaman modren, namun ada sedikit perubahan. Dimana dahulu kala bertobo ini merupakan perkumpulan muda-mudi, tetapi kalau saat ini itu dapat kita saksikan dengan mata kita masing-masing bahwa yang bertobo bukan lagi orang muda-mudi tapi kaum tua-tua dan itu banyak di lakukan oleh kaum ibu-ibu.
Salah satu lagi daerah yang akan kaya dengan tardisi dan budaya adalah Kabupaten Kuantan Singingi hal ini dapat dilihat dengan tetkenal tradisi pacu jalur yang sudah dikatakan tingkat internasional yang terdapat di Kota Teluk Kuantan yang di adakan satu kali dalam setahun. Disamping itu ada juga perahu bergandung yang terdapat di Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuansing yang bertujuan untuk menjemput limau di bulan suci Ramdahan yang juga diadakan satu kali dalam setahun.
Tidak hanya itu di daerah Pangean itu ada tradisi yang terkenal juga yaitu tardisi bersilat (Bela diri) yang merupakan salah satu olahraga bela diri pencak silat yang paling terkenal dari tanah Kantan. Dalam Silek Pangean sendiri juga terdiri dari beraneka jenis dan tingkatan. Salah satunya adalah dengan menggunakan pedang. Masih dari Kecamatan Pangean, ada satu ritual adat yang juga bisa kita saksikan yaitu Prosesi Turun Mandi bagi anak bayi.
Tradisi-tradisi ini masih dapat kita jumpai pada kehidupan yang serba mengunakan teknologi mesin. Namun ada juga tradisi dan budaya masyarakat dahulu yang tidak kita jumpai pada zaman sekarang dan bahkan kita tidak mengenalnya kalau itu merupakan budaya orang kita dahulu yang juga merupakan tempat mereka untuk menghasilkan uang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Salah satu tradisi dan budaya yang telah hilang adalah tradisi Mengilang Tebu di Desa Teluk Beringin, Kecamatan Gunung Toar, Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau. Untuk lebih jelasnya bagaimana bentuk Kilangan Tebu masyarakat dahulu itu dapat dilahat dari foto dibawah ini.
 
(Gambar ini di ambil pada tanggal 1 November 2012 di Desa Teluk Beringin)
Dilihat dari gambar dapat kita lihat bahwa kilangan tebu ini bentuknya sangatlah sederhana yang hanya terbuat dari pohon kayu. Batang pohon yang agak besar yang kemudian di potong-potong sesuai ukarannya dan kemudian dipahat dengan mengunakan Pawek. Meski bentuknya sangat sederhana namun pada masa masyarakat dahulu itu manfaatnya cukup besar dalam kehidupan mereka.
            Keberadaan Kilangan Tebu ini sudah dibilang cukup lama sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak Nurin warga Desa Teluk Beringin  yang memiliki benda tersebut. Dia mengatakan bahwa Kilangan ini di pinjam dari masyarakat Rantau Sialang Kecamatan Kuantan Mudik yang saat itu sudah berumur 67 tahun. Sementara secara logika kita pasti mengetahui juga bahwa sebelum itu pasti sudah ada juga yang membuat benda ini. Jadi dapat kita ketahui dari perkataan Bapak Nurin ini bahwa tradisi ini sudah ada puluhan tahun yang silam. Itu artinya tardisi ini juga dikatan warisan dari nenek moyang yang turun temurun. Sedangkan berakhirnya pengunaan Kilangan Tebu ini dalam masyarakat Teluk Beringin adalah pada tahun 2004 yang silam.
            Sebagaimana  yang dikatakan Bapak Nurin pengunaan Kilangan Tebu ini juga cukup sederhana yang di butuhkan hanya tenaga manusia. Sedangkan semua alat lainnya seperti Perapik (Baut) itu juga terbuat dari kayu. Guna Perapik (Baut) ini adalah untuk memperkokoh Kilangan Tebu supaya dia bisa berdiri sendiri. Disambil Perapik itu juga dibantu dengan dua buah tiang dari pohon kelapa yang di potong-potong yang kemudian sebagian batang pohon kelapa itu di tanamkan kedalam tanah yang telah dikali lebih kurang 2 meter. Dimana perapik itu sebanyak 4 buah, dan bautnya yang kecil-kecil itu sebanyak 10 buah semua itu terbuat dari kayu. Sedangka lubang diatas yang terdapat pada kilangan yag paling tinggi itu merupakan tempat orang nantinya bergantung yang kemudian memutarnya (magaliling). Itu juga terbuat dari kayu yang dinamakan Manai yang panjangnya sekitar 10 dopo (depa).
            Setelah Kilangan Tebu itu berdiri dengan kokohnya lalu timbul pertanyaan dimana tebu itu dimasukan, air tebu itu dimana tempatnya, dan pake apa memasaknya sehingga ia menjadi manisan tebu (gula tebu). Tebu itu setelah di kupas kulitnya (tidak semuanya) kemudian di letakkan pada tempatnya yaitu disamping kilangan, kemudian ada dua oarng pekerjanya desebelah kanan satu dan disebelah kiri. Tebu itu dimasukkan di bagian tengah kilangan yang batangnya licin itu pun dilakukan dua kali masukkan. Sedangkan airnya di tampung dengan kaleng (ember) yang di buat kan tempatnya di dalam tanah. Kalau tempat memasaknya adalah kanca (kuali besra) yang juga dibikin lubangnya yang tanah itu dikali seakan orang membuat gua. Kancah tempat memesak air tebu ini itu ada dua buah lubang. Disamping itu ada juga lubang kecil yang namanya lubang kucing yang digunakan untuk membakar tebu (tebu pagang). Memasak air tebu ini memakan waktu selama 9 jam dan itu pun dengan mengunakan kayu bakar yang di masukkan dari lubang yang telah di buat tadi. Sendok yang digunakan adalah sendok yang terbuat dari tempurung (Kulit Kelapa) untuk mengaduk air tebu supaya jagan kental (kondal).
Disaat memasak air tebu ini disini masyarakat punya kesempatan untuk mencari pengahsilan tambahan dalam perekonomian. Seperti apakah itu ?, masyarakat itu bisa menjual ubi masuk kamani namanya. Bagaimanakah prosesnya, begini ubi (singkong) tersebut di kupas kulitnya dan kemudian dipotong sepanjang gelas dan kemudian di masukkan kedalam kaijam (keruntung) yang terbuat dari pelepah mambio (rambio) yang dijalin seperti orang membuat selayan. Setelah selesai kaijam yang beris ubi tadi masukkan kedalam kanca sehingga air tebu tadi matang. Air tebu itu masak warnahnya ada yang coklat, ada juga yang kemerahan, dan juga ada memyerupai gula sakai (enau). Begitu juga dengan ubi yang masaknya warnahnya ada yang merah sehingga ubi itu dinamakan ubu masuk kamani. Biasanya dalam satu kaijam itu bisa mengahsilkan uang sebesar 200 ribu dalam satu hari bahkan lebih sesuai ukuran kaijam yang di buat.
Setelah air tebu tadi matang itu manisan tebu itu dimasukkan kedalam guci yang juga terbuat dari tanah. Sedangkan hasil manisan tebu tadi juga bisa di jual kepasar ada juga orang yang datang kerumah untuk membelinya. Biasanya di jual dengan harga yang murah. Biasanya satu mangkuk gulai itu 5 ribu rupiah. Menimal dalam satu guci manisan itu bisa menghasilkan uang sekitar 1 juta rupiah bahkan lebih. Betapa membantunya saat adanya tardisi ini bagi masyarakat pada masa dahulu.
              
(Gambar Guci Tempat Manisan Tebu)

Dalam tradisi mengilang tebu ini juga di adakan satu kali dalam setahun itu biasanya setelah panen padi di sawah. Dalam tradisi ini juga dilakukan secara berkelompok yang dahulunya di iikuti sebahagian masyarakat dari 3 desa yaitu Desa Teluk Beringin, Pulau Mungkur, dan Pulau Rumput. Banyak orang dalam satu kelompok ini menimal 25 orang bahkan sampai 30 arang. Itu pada tahun 1996 sampai1998 itu ada tiga kelompok, pada tahun 1999- 2000 itu ada dua kelompok, dan tahun  2000 sampai 2004 itu hanya tingal satu kelompok yang merupakan akhir dari tradisi ini. Dalam masing-masing kelompok juga mempunyai ketua yang menimal anggotanya 25 orang. 
Di dalam berkelompok ini itu memerlukan tanah menimal 3 sampai 5 hetar untuk menanam tebu oleh masyarakat Teluk Beringin disebut lingkungan. Setiap orang itu memerlukan tanah sepanjang 10 dopo bahkan lebih dan lebar  3 sampai 5 dopo. Memag lingkungan ini memerlukan tanah yang kosong (padang) yang tidak di isi oleh tumbuhan seperti pohon kelpa atau karet supaya tebu tersebut tumbuh dengan baik. Lingkungan ini kemudia dipagar secara bersama dengan pencarikan pagarnya ke hutan. Biasanya pengunan tanah pada satu lingkungan ini menimal dua tahun. Setelah dua tahun itu akan mencari lagi bahan baru supaya air tebu itu nanti terasa manis dan juga bagus. Tebu ini biasanya baru bisa dipanen lebih kurang 5 sampai 7 bulan. Disamping bertanam tebu masyarakat dalam kelompok ini juga menanam jagung dan ubi (singkong). Disini dapat kita lihat adanya rasa kebersamaan dalam masyarakat  meski ini merupakan pekerjaan yang berat namun apabila di lakukan secara bersama akan terasa ringan juga seperti kata pepatah orang tua berat sama di pikul ringan sama di jinjing.
Kebersamaan itu juga terlihat di saat acaranya (hari hahnya) dimana setelah kilangan  berdiri itu di sekeliling kilangan itu didirikan pangung (pondok). Pondok ini bentuknya juag sederhana yang dindingnya mengunakan batang babmbu yang di keping-keping, atapnya ada yang mengunakan seng dan ada juga yang mengunakan atap mambio. Pondok ini gunanya adalah untuk tempat tidur di malam hari dan tempat beristirahat. Karena mengiling tebu ini dia adakan siang dan malam. Pagi hari biasanya dari jam 8 sampai 11, hari siang itu dari jam 2 sampai jam 5 bahkan jam 6, sedangkan kalau malam biasanya dari jam 8 atau 9 sampai jam 3 dan 4 subuh.
Dalam mengilang tebu ini itu dilakukan secarah bergiliran, seprti di hari pertama itu kita mengilang tebu si A setelah selesai tebu si A kita ke tebu si B begitu seterusnya hingga semuanya selesai. Disini tidak hanya kaum bapak yang melakukan juga kaum ibu ikut serta. Kalau kerja kaum bapak adalah mengilang tebu dan memasak air tebu, sedangkan kaum ibu itu manyisik tebu (mengubak tebu) di dalam lingkungan. Tidak ketinggalan pula kaum muda dan kaum mudi yang ikut serta dalam mengilang tebu. Begitu juga anak-anak yang kerjanya adalah membakar tebu yang kudian di letuskan. Tebu yang di bakar oleh anak-anak itu ukurannya sebesar barai senter yang kemudian di lecutkan ke papan yang telah di sediakan itu bunyi letusnya lumayan besar juga. Oleh anak-anak tebu yang di letuskan tadi namanya adalah bodil-bodil. Bodil-bodil ini di bakar di lubang kucing namanya, bodil-bodil juga enak dimakan terasa tebu pangang. Dapat kita lihat dari taradisi ini membuat orang bersatu baik itu dari bapak-bapak, ibu-ibu, muda-mudi, dan sampai keapada anak-anak. Di sini semua keluarga ikut terlibat dalam tradisi ini. Sedangkan sebagian orang yang tidak ikut serta itu juga di perbolehkan untuk ikut serta, bahkan dengan banyak orang yang datang itu akan sangat membantu dalam perkejaan mengilang tebu ini.
Biasanya pada siang hari itu banyak yang mengilang adalah anak-anak dan anak gadis bahkan ibu-ibu. Tapi kalau di malam hari itu banyak dilakukan kaum bapak dan pemuda yang nantinya saling bersaing. Dimana sebagian dari kanan akan menjatuhkan orang yang di sebelah kiri begitu juga sebaliknya. Menjatuhkan lawan itu biasanya di lakukan dengan cara kejar-kejaran siapa yang bertahan maka itu lah yang dianggap menang. Meski demikian itu tidak menimbulkan perkelahian bahkan disaat kejaran-kejaran ini itu yang terlihat adalah tawa kesenangan dari semua peserta mengilang.   
Acara ini menimal memakan waktu 3 Minggu bahkan sampai 1 bulan. Setelah acara ini selesai itu biasanya di tutup dengan pembacaan do’a yang artinya bersyukur kepada Allah Yang Maha Esa atas nikmat yang telah di berikan dan selsesainya acara mengilang dengan berjalan lancar dari awal sampai akhir dan saling memintak maaf satu sama lain. Di samping berdo’a itu masyarakat yang terkait dalam kelompok itu merancang lagi di mana kita akan mencari lahan untuk lingkungan baru. Dalam kelompok yang lama itu ada yang berhenti karena tidak sanggup lagi, namun yang berhenti ini ada pengantinya yang baru.
Hilangnya budaya atau tradisi menggilang tebu dalam masyarakat khusunya di Desa Teluk Beringin ini di karenakan lahan yang tidak memadai lagi. Karena lahan untuk menanam tebu ini telah di tanam dengan pohon karet dan bahkan mendirikan rumah. Ini disebabkan oleh cepatnya pertumbuhan penduduk. Di samping lahan yang tidak memadai lagi tradisi ini hilang juga disebabkan oleh kemajuaan teknologi yang datang dari negar Eropa seperti dengan adanya gilingan tebu yang mengunakan mesin. Sebagaimana yang kita ketahui kinerja mesin ini lebih cepat dari pada tenaga manusia, sepuluh berbanding satu. Tentunya masyarakat akan lebih memilih sesuatu yang lebih mudah, cepat dan sedikit waktu yang digunakan.
Kilangan tebu kini hanya tinggal bendanya saja sedangkan kebersamaan dalam masyarakat tidak dijumpai lagi apalagi untuk melihat bagaimana cara kerja dari kilangan ini. Alat yang tradisonal ini hanya tinggal alat yang dianggap tak ada gunannya lagi di era modren ini. Alangkah ruginya kita selaku daerah yang banyak memilki budaya namun tidak semuanya dapat kita lestarikan atau kita pertahankan keadaannya. Rindu rasanya hati untuk melihat keadaan yang mengembirakan saat kebersamaan yang dahulu ada di dalam masyarakat kita. Namun akan kah ini akan terulang lagi kita semua tidak tahu jawabannya. Tapi biasanya sejarah ini tidak terulang untuk yang kedua kalinya.
Hanya satu harapan di hati yaitu berharapnya kilangan tebu ini yang telah lama tidak berfungsi bisa lagi berfungsi sebagaimana yang terjadi di masyarkat dahulu. Dimana dengan adanya tradisi menggilang tebu ini banyak manfaatnya bagi kehidupan kita selaku umat manusia yang hidup itu harus ada kesamaan. Disamping kesamaan itu juga dapat membantu perekonomian masyarakat walau itu hanya datangnya sekali dalam satu tahun. Juga merupakan mempererat hubungan rumah tangga yang mungkin jarang berkumpul namun dengan adanya tradisi ini bisa membantu kita dalam keluarga untuk saling membahu satu sama lainnya. Mudahan dimasa yang akan datang tradisi ini bisa hidup lagi dan berfungsi lagi. Tapi rasanya kalaulah tidak ada perhatian dari pemerintah untuk melestarikan budaya yang telah hilang ini itu mustahil akan terwujud lagi. Tidak hanya dari perhatian pemerintah saja namun mesyarakat juga harus memperhatikan akan tradisi yang telah diberikan oarng tua kita dahulu. Apabila itu telah kita tanamkan dalam jiwa kita masing-masing pastilah yang hilang ini akan bisa ada lagi, namun kita lihat kedepan biarlh waktu yang menjawabnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar