TRADISI
YANG TELAH HILANG YAITU MENGGILANG TEBU DI DESA TELUK BERINGIN KECMATAN GUNUNG
TOAR KABUPATEN KUANSING PROVINSI RIAU
Provinsi
Riau merupakan Provinsi yang dibilang sangat maju pada zaman sekarang. Provinsi
yang dikenal sebagai penghasil minyak bumi, kelapa sawit, dan karet, juga
dikenal dengan hasil budaya yang sangat beragam. Provinsi Riau yang ibu kotanya
adalah Pekan Baru yang terdiri dari beberapah daerah yaitu daerah ditepi laut
(kepulauan), dan daerah Riau perdalam. Masyarakat Riau Kepulauan, yaitu yang terdiri atas, Kabupaten Bintan,
Kabupaten Karimun,
Kabupaten Kepulauan Anambas,
kabupaten Lingga,
Kabupaten Natuna,
Kota Batam, dan Kota Tanjung Pinang.
Sedangkan Masyarakat Riau daratan,
terdiri atas yaitu Kabupaten Bengkalis,
Kabupaten Rokan Hilir,
Kota Dumai, Kabupaten Kepulauan Meranti,
Kabupaten Siak,
Kabupaten Indragiri Hilir,
Kabupaten Kampar,
Kabupaten Rokan Hulu,
dan Kabupaten Kuantan Singingi.
Dimana
setiap Kabupaten di Provinsi Riau itu memiliki tradisi dan budaya yang
diciptakan oleh masyarakatnya sendiri. Seperti budaya Bertobo yang terdapat di
Kabupaten Kampar, dimana budaya bertobo ini merupakan salah satu kesenian anak
negri melayu yang merupakan perkumpulan muda-mudi untuk turun ke sawah atau
ladang. Biasanya kegiatan batobo ini dilakukan pada musim turun kesawah atau
ladang yang diiringi dengan bunyi-bunyian oleh kesenian tradisi, dan pada masa
panen hasil sawah dan ladang dinamakan acara penutupan tobo diadakan tradisi
makan bersama do’a yang diramaikan degan kesenian, seperti randai atau saluang.
Budaya
bertobo pada zaman yang serba canggih ini masih bertahan dan masih dapat kita
jumpai terutama di dalam masyarakat perdesaan yang hidup bertani. Meski budaya
bertobo ini masih dijumpai pada zaman modren, namun ada sedikit perubahan.
Dimana dahulu kala bertobo ini merupakan perkumpulan muda-mudi, tetapi kalau
saat ini itu dapat kita saksikan dengan mata kita masing-masing bahwa yang
bertobo bukan lagi orang muda-mudi tapi kaum tua-tua dan itu banyak di lakukan
oleh kaum ibu-ibu.
Salah
satu lagi daerah yang akan kaya dengan tardisi dan budaya adalah Kabupaten
Kuantan Singingi hal ini dapat dilihat dengan tetkenal tradisi pacu jalur yang
sudah dikatakan tingkat internasional yang terdapat di Kota Teluk Kuantan yang
di adakan satu kali dalam setahun. Disamping itu ada juga perahu bergandung yang
terdapat di Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuansing yang bertujuan untuk
menjemput limau di bulan suci Ramdahan yang juga diadakan satu kali dalam
setahun.
Tidak
hanya itu di daerah Pangean itu ada tradisi yang terkenal juga yaitu tardisi
bersilat (Bela diri) yang merupakan salah satu olahraga bela diri pencak silat
yang paling terkenal dari tanah Kantan. Dalam Silek Pangean sendiri juga
terdiri dari beraneka jenis dan tingkatan. Salah satunya adalah dengan
menggunakan pedang. Masih dari Kecamatan Pangean, ada satu ritual adat yang
juga bisa kita saksikan yaitu Prosesi Turun Mandi bagi anak bayi.
Tradisi-tradisi
ini masih dapat kita jumpai pada kehidupan yang serba mengunakan teknologi
mesin. Namun ada juga tradisi dan budaya masyarakat dahulu yang tidak kita
jumpai pada zaman sekarang dan bahkan kita tidak mengenalnya kalau itu
merupakan budaya orang kita dahulu yang juga merupakan tempat mereka untuk
menghasilkan uang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Salah satu tradisi
dan budaya yang telah hilang adalah tradisi Mengilang Tebu di Desa Teluk
Beringin, Kecamatan Gunung Toar, Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau.
Untuk lebih jelasnya bagaimana bentuk Kilangan Tebu masyarakat dahulu itu dapat
dilahat dari foto dibawah ini.
(Gambar ini di ambil pada tanggal 1
November 2012 di Desa Teluk Beringin)
Dilihat
dari gambar dapat kita lihat bahwa kilangan tebu ini bentuknya sangatlah
sederhana yang hanya terbuat dari pohon kayu. Batang pohon yang agak besar yang
kemudian di potong-potong sesuai ukarannya dan kemudian dipahat dengan
mengunakan Pawek. Meski bentuknya sangat sederhana namun pada masa masyarakat
dahulu itu manfaatnya cukup besar dalam kehidupan mereka.
Keberadaan Kilangan Tebu ini sudah
dibilang cukup lama sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak Nurin warga Desa
Teluk Beringin yang memiliki benda
tersebut. Dia mengatakan bahwa Kilangan ini di pinjam dari masyarakat Rantau
Sialang Kecamatan Kuantan Mudik yang saat itu sudah berumur 67 tahun. Sementara
secara logika kita pasti mengetahui juga bahwa sebelum itu pasti sudah ada juga
yang membuat benda ini. Jadi dapat kita ketahui dari perkataan Bapak Nurin ini
bahwa tradisi ini sudah ada puluhan tahun yang silam. Itu artinya tardisi ini
juga dikatan warisan dari nenek moyang yang turun temurun. Sedangkan
berakhirnya pengunaan Kilangan Tebu ini dalam masyarakat Teluk Beringin adalah
pada tahun 2004 yang silam.
Sebagaimana yang dikatakan Bapak Nurin pengunaan Kilangan
Tebu ini juga cukup sederhana yang di butuhkan hanya tenaga manusia. Sedangkan
semua alat lainnya seperti Perapik (Baut) itu juga terbuat dari kayu. Guna
Perapik (Baut) ini adalah untuk memperkokoh Kilangan Tebu supaya dia bisa
berdiri sendiri. Disambil Perapik itu juga dibantu dengan dua buah tiang dari
pohon kelapa yang di potong-potong yang kemudian sebagian batang pohon kelapa
itu di tanamkan kedalam tanah yang telah dikali lebih kurang 2 meter. Dimana
perapik itu sebanyak 4 buah, dan bautnya yang kecil-kecil itu sebanyak 10 buah semua
itu terbuat dari kayu. Sedangka lubang diatas yang terdapat pada kilangan yag
paling tinggi itu merupakan tempat orang nantinya bergantung yang kemudian
memutarnya (magaliling). Itu juga terbuat dari kayu yang dinamakan Manai yang
panjangnya sekitar 10 dopo (depa).
Setelah Kilangan Tebu itu berdiri
dengan kokohnya lalu timbul pertanyaan dimana tebu itu dimasukan, air tebu itu
dimana tempatnya, dan pake apa memasaknya sehingga ia menjadi manisan tebu
(gula tebu). Tebu itu setelah di kupas kulitnya (tidak semuanya) kemudian di
letakkan pada tempatnya yaitu disamping kilangan, kemudian ada dua oarng
pekerjanya desebelah kanan satu dan disebelah kiri. Tebu itu dimasukkan di
bagian tengah kilangan yang batangnya licin itu pun dilakukan dua kali masukkan.
Sedangkan airnya di tampung dengan kaleng (ember) yang di buat kan tempatnya di
dalam tanah. Kalau tempat memasaknya adalah kanca (kuali besra) yang juga
dibikin lubangnya yang tanah itu dikali seakan orang membuat gua. Kancah tempat
memesak air tebu ini itu ada dua buah lubang. Disamping itu ada juga lubang
kecil yang namanya lubang kucing yang digunakan untuk membakar tebu (tebu
pagang). Memasak air tebu ini memakan waktu selama 9 jam dan itu pun dengan
mengunakan kayu bakar yang di masukkan dari lubang yang telah di buat tadi.
Sendok yang digunakan adalah sendok yang terbuat dari tempurung (Kulit Kelapa)
untuk mengaduk air tebu supaya jagan kental (kondal).
Disaat
memasak air tebu ini disini masyarakat punya kesempatan untuk mencari
pengahsilan tambahan dalam perekonomian. Seperti apakah itu ?, masyarakat itu
bisa menjual ubi masuk kamani namanya. Bagaimanakah prosesnya, begini ubi
(singkong) tersebut di kupas kulitnya dan kemudian dipotong sepanjang gelas dan
kemudian di masukkan kedalam kaijam (keruntung) yang terbuat dari pelepah
mambio (rambio) yang dijalin seperti orang membuat selayan. Setelah selesai
kaijam yang beris ubi tadi masukkan kedalam kanca sehingga air tebu tadi
matang. Air tebu itu masak warnahnya ada yang coklat, ada juga yang kemerahan, dan
juga ada memyerupai gula sakai (enau). Begitu juga dengan ubi yang masaknya
warnahnya ada yang merah sehingga ubi itu dinamakan ubu masuk kamani. Biasanya
dalam satu kaijam itu bisa mengahsilkan uang sebesar 200 ribu dalam satu hari bahkan
lebih sesuai ukuran kaijam yang di buat.
Setelah
air tebu tadi matang itu manisan tebu itu dimasukkan kedalam guci yang juga
terbuat dari tanah. Sedangkan hasil manisan tebu tadi juga bisa di jual kepasar
ada juga orang yang datang kerumah untuk membelinya. Biasanya di jual dengan
harga yang murah. Biasanya satu mangkuk gulai itu 5 ribu rupiah. Menimal dalam
satu guci manisan itu bisa menghasilkan uang sekitar 1 juta rupiah bahkan
lebih. Betapa membantunya saat adanya tardisi ini bagi masyarakat pada masa
dahulu.
(Gambar
Guci Tempat Manisan Tebu)
Dalam
tradisi mengilang tebu ini juga di adakan satu kali dalam setahun itu biasanya
setelah panen padi di sawah. Dalam tradisi ini juga dilakukan secara
berkelompok yang dahulunya di iikuti sebahagian masyarakat dari 3 desa yaitu
Desa Teluk Beringin, Pulau Mungkur, dan Pulau Rumput. Banyak orang dalam satu
kelompok ini menimal 25 orang bahkan sampai 30 arang. Itu pada tahun 1996
sampai1998 itu ada tiga kelompok, pada tahun 1999- 2000 itu ada dua kelompok,
dan tahun 2000 sampai 2004 itu hanya
tingal satu kelompok yang merupakan akhir dari tradisi ini. Dalam masing-masing
kelompok juga mempunyai ketua yang menimal anggotanya 25 orang.
Di
dalam berkelompok ini itu memerlukan tanah menimal 3 sampai 5 hetar untuk
menanam tebu oleh masyarakat Teluk Beringin disebut lingkungan. Setiap orang
itu memerlukan tanah sepanjang 10 dopo bahkan lebih dan lebar 3 sampai 5 dopo. Memag lingkungan ini
memerlukan tanah yang kosong (padang) yang tidak di isi oleh tumbuhan seperti
pohon kelpa atau karet supaya tebu tersebut tumbuh dengan baik. Lingkungan ini
kemudia dipagar secara bersama dengan pencarikan pagarnya ke hutan. Biasanya
pengunan tanah pada satu lingkungan ini menimal dua tahun. Setelah dua tahun
itu akan mencari lagi bahan baru supaya air tebu itu nanti terasa manis dan
juga bagus. Tebu ini biasanya baru bisa dipanen lebih kurang 5 sampai 7 bulan.
Disamping bertanam tebu masyarakat dalam kelompok ini juga menanam jagung dan
ubi (singkong). Disini dapat kita lihat adanya rasa kebersamaan dalam
masyarakat meski ini merupakan pekerjaan
yang berat namun apabila di lakukan secara bersama akan terasa ringan juga
seperti kata pepatah orang tua berat sama di pikul ringan sama di jinjing.
Kebersamaan
itu juga terlihat di saat acaranya (hari hahnya) dimana setelah kilangan berdiri itu di sekeliling kilangan itu
didirikan pangung (pondok). Pondok ini bentuknya juag sederhana yang dindingnya
mengunakan batang babmbu yang di keping-keping, atapnya ada yang mengunakan
seng dan ada juga yang mengunakan atap mambio. Pondok ini gunanya adalah untuk
tempat tidur di malam hari dan tempat beristirahat. Karena mengiling tebu ini
dia adakan siang dan malam. Pagi hari biasanya dari jam 8 sampai 11, hari siang
itu dari jam 2 sampai jam 5 bahkan jam 6, sedangkan kalau malam biasanya dari
jam 8 atau 9 sampai jam 3 dan 4 subuh.
Dalam
mengilang tebu ini itu dilakukan secarah bergiliran, seprti di hari pertama itu
kita mengilang tebu si A setelah selesai tebu si A kita ke tebu si B begitu
seterusnya hingga semuanya selesai. Disini tidak hanya kaum bapak yang
melakukan juga kaum ibu ikut serta. Kalau kerja kaum bapak adalah mengilang
tebu dan memasak air tebu, sedangkan kaum ibu itu manyisik tebu (mengubak tebu)
di dalam lingkungan. Tidak ketinggalan pula kaum muda dan kaum mudi yang ikut
serta dalam mengilang tebu. Begitu juga anak-anak yang kerjanya adalah membakar
tebu yang kudian di letuskan. Tebu yang di bakar oleh anak-anak itu ukurannya
sebesar barai senter yang kemudian di lecutkan ke papan yang telah di sediakan
itu bunyi letusnya lumayan besar juga. Oleh anak-anak tebu yang di letuskan
tadi namanya adalah bodil-bodil. Bodil-bodil ini di bakar di lubang kucing
namanya, bodil-bodil juga enak dimakan terasa tebu pangang. Dapat kita lihat
dari taradisi ini membuat orang bersatu baik itu dari bapak-bapak, ibu-ibu,
muda-mudi, dan sampai keapada anak-anak. Di sini semua keluarga ikut terlibat
dalam tradisi ini. Sedangkan sebagian orang yang tidak ikut serta itu juga di
perbolehkan untuk ikut serta, bahkan dengan banyak orang yang datang itu akan
sangat membantu dalam perkejaan mengilang tebu ini.
Biasanya
pada siang hari itu banyak yang mengilang adalah anak-anak dan anak gadis
bahkan ibu-ibu. Tapi kalau di malam hari itu banyak dilakukan kaum bapak dan
pemuda yang nantinya saling bersaing. Dimana sebagian dari kanan akan
menjatuhkan orang yang di sebelah kiri begitu juga sebaliknya. Menjatuhkan
lawan itu biasanya di lakukan dengan cara kejar-kejaran siapa yang bertahan
maka itu lah yang dianggap menang. Meski demikian itu tidak menimbulkan
perkelahian bahkan disaat kejaran-kejaran ini itu yang terlihat adalah tawa
kesenangan dari semua peserta mengilang.
Acara
ini menimal memakan waktu 3 Minggu bahkan sampai 1 bulan. Setelah acara ini
selesai itu biasanya di tutup dengan pembacaan do’a yang artinya bersyukur
kepada Allah Yang Maha Esa atas nikmat yang telah di berikan dan selsesainya
acara mengilang dengan berjalan lancar dari awal sampai akhir dan saling
memintak maaf satu sama lain. Di samping berdo’a itu masyarakat yang terkait
dalam kelompok itu merancang lagi di mana kita akan mencari lahan untuk
lingkungan baru. Dalam kelompok yang lama itu ada yang berhenti karena tidak
sanggup lagi, namun yang berhenti ini ada pengantinya yang baru.
Hilangnya
budaya atau tradisi menggilang tebu dalam masyarakat khusunya di Desa Teluk
Beringin ini di karenakan lahan yang tidak memadai lagi. Karena lahan untuk
menanam tebu ini telah di tanam dengan pohon karet dan bahkan mendirikan rumah.
Ini disebabkan oleh cepatnya pertumbuhan penduduk. Di samping lahan yang tidak
memadai lagi tradisi ini hilang juga disebabkan oleh kemajuaan teknologi yang
datang dari negar Eropa seperti dengan adanya gilingan tebu yang mengunakan
mesin. Sebagaimana yang kita ketahui kinerja mesin ini lebih cepat dari pada
tenaga manusia, sepuluh berbanding satu. Tentunya masyarakat akan lebih memilih
sesuatu yang lebih mudah, cepat dan sedikit waktu yang digunakan.
Kilangan
tebu kini hanya tinggal bendanya saja sedangkan kebersamaan dalam masyarakat
tidak dijumpai lagi apalagi untuk melihat bagaimana cara kerja dari kilangan
ini. Alat yang tradisonal ini hanya tinggal alat yang dianggap tak ada gunannya
lagi di era modren ini. Alangkah ruginya kita selaku daerah yang banyak memilki
budaya namun tidak semuanya dapat kita lestarikan atau kita pertahankan
keadaannya. Rindu rasanya hati untuk melihat keadaan yang mengembirakan saat
kebersamaan yang dahulu ada di dalam masyarakat kita. Namun akan kah ini akan
terulang lagi kita semua tidak tahu jawabannya. Tapi biasanya sejarah ini tidak
terulang untuk yang kedua kalinya.
Hanya
satu harapan di hati yaitu berharapnya kilangan tebu ini yang telah lama tidak
berfungsi bisa lagi berfungsi sebagaimana yang terjadi di masyarkat dahulu.
Dimana dengan adanya tradisi menggilang tebu ini banyak manfaatnya bagi
kehidupan kita selaku umat manusia yang hidup itu harus ada kesamaan. Disamping
kesamaan itu juga dapat membantu perekonomian masyarakat walau itu hanya
datangnya sekali dalam satu tahun. Juga merupakan mempererat hubungan rumah
tangga yang mungkin jarang berkumpul namun dengan adanya tradisi ini bisa
membantu kita dalam keluarga untuk saling membahu satu sama lainnya. Mudahan
dimasa yang akan datang tradisi ini bisa hidup lagi dan berfungsi lagi. Tapi
rasanya kalaulah tidak ada perhatian dari pemerintah untuk melestarikan budaya
yang telah hilang ini itu mustahil akan terwujud lagi. Tidak hanya dari
perhatian pemerintah saja namun mesyarakat juga harus memperhatikan akan
tradisi yang telah diberikan oarng tua kita dahulu. Apabila itu telah kita
tanamkan dalam jiwa kita masing-masing pastilah yang hilang ini akan bisa ada
lagi, namun kita lihat kedepan biarlh waktu yang menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar