MAKALAH TEKS KLASIK
Tentang
TULISAN ARAB MELAYU DI NUSANTARA
Oleh :
Gimin Saputra : 110.084
Rahma Wirna : 110. 011
M. Kadri : 110.032
Nuraida : 110.070
Itra Antoni : 110.009
Dosen
:
Drs. Muhapril Musri, M.Ag.
Siti Aisyah, M. Hum.
JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (SKI )
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOLPADANG
1433 H / 2012 M
PENDAHULUAN
Disamping bahasa, tulisan merupakan
sebuah alat komunikasi manusia dari zaman dahulu sampai sekarang ini. Setiap
kelompok manusia pada umumnya memeliki aksara sendiri. Tulisan yang ada pada
zaman sekarang ini berasal dari rumpun tulisan
Keberadaan tulisan dalam masyarakat
sangat berperan penting. Dengan tulisan ini, manusia mampu berkomunikasi meski
memakan jarak yang cukup jauh. Di nusantara tulisan yang berkembang ialah
tulisan arab melayu. Tulisan arab melayu adalah tulisan Arab yang
diadaptasikan oleh bahasa Melayu untuk pengejaannya seperti yang kita pahami
sekarang ini. Artinya huruf yang dipakai adalah huruf-huruf Arab dengan bahasa
Melayu, atau dengan ejaan Melayu. Di tempat lain tulisan Melayu ini disebut dengan Arab Jawi
atau sejenisnya.
Indonesia memiliki beraneka ragam
bahasa daerah, masing-masing memiliki aturan penulisan sendiri menggunakan
aksara tradisionalnya yang khas. Apresiasi terhadap berbagai aksara tradisional
ini masih tampak misalnya dari mata pelajaran bahasa daerah di tiap daerah.
Penggunaan aksara-aksara tradisional ini di berbagai sudut kota juga merupakan
bukti bahwa, walaupun aksara ini telah hampir sepenuhnya tergantikan oleh
aksara latin, sebenarnya bangsa kita masih cinta dan bangga atas kekayaan
negeri kita yang satu ini.
PEMBAHASAN
TULISAN ARAB MELAYU DI NUSANTARA
1.
SEJARAH
TULISAN ARAB MELAYU SAMPAI KE NUSANTARA
Arab
Melayu adalah aksara utama dalam penyebaran bahasa Melayu ke seluruh
wilayah Nusantara; yang penggunaannya dimulai seiring dengan kedatangan agama
Islam ke kepulauan Melayu ini. Disebut Arab
Melayu, karena merupakan huruf-huruf Arab yang sengaja diubah untuk
mewakili bunyi bahasa Melayu. Seni penulisan ini juga dikenal dengan nama Jawi, Jawoe, Kawung; dan untuk tulisan
Arab Melayu yang berbahasa Jawa disebut Pegon. Walau apapun sebutannya pada
tiap wilayah, dalam tulisan blog ini hanya akan disebut dengan nama Arab Melayu
saja.
Mengenai
tulisan Arab pernah di bicarakan oleh Othman Mohd Yatim yang mengatakan bahwa
diantara sumbangan Islam yang besar bagi rakyat kepulauan melayu Indonesia
ialah dampaknya kepada perkembangan bahasa Melayu. Dengan kemajuan Islam dan
konsekwensinya kerajaan-kerajaan melayu menganut agama Islam maka tulisan Arab
dan tulisan jawi dikenalkan dan diterima oleh orang melayu sebagai media
penulisan bahasa melayu. (Yatim, 1988:60-61).
Tulisan Jawi telah lama ada dalam khasanah kebudayaan Melayu yang
diperkirakan sekitar abad ke 10 Masehi atau 3 Hijrah hingga kemasa kini dan ia
berasal dari pada tulisan Arab. Keberadaan tulisan Arab Melayu di Nusantara identik dengan penyebaran islam ke daerah
melayu.
Masa sejak awal abad ke-13 M sampai
penghujung abad ke-15 M dalam khazanah kesusastraan melayu disebut masa peralihan,yaitu
masa peralihan dari peradaban Hindu ke peradaban Islam. Dengan masuknya
peradaban Islam,orang melayu mulai mengenal tradisi tulis. Sebelumnya, mereka
hanya memiliki tradisi lisan. Aksara Jawi sudah wujud dan digunakan di wilayah
Sumatra dan Semenanjung Malaya jauh sebelum orang/pulau Jawa memeluk agama
Islam (883 H/1468 M).
Manuskrip Islam tertua di kepulauan
Nusantara ditemukan di Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303
(abad 14). Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam
pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan
Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua
menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.
Yang kedua, masih di abad 14, pada
tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar
sepakat bahwa perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada
massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Keka\halifahan Islam lain di Semenanjung
Malaka (Musa, 2006:8-10).
2. PERKEMBANGAN TULISAN ARAB MELAYU DI
NUSANTARA
Pengunaan tulisan Arab melayu makin
mengalami perkembangan yang itu terlihat saat kerajaan Aceh Darussalam yang
pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (1589-1604 M) dan puncaknya
pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) sejak abad 14. Sedangkan abad 17
itu kemajuan dari tulisan Arab Melayu nampak betul. Karena di kerajaan Aceh
Darussalam ada pemikir ahli agama, sastrawan yang terkenal seperti Hamzah
al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani/Pasai, Bukhari al-Jauhari, Naruddin
al-Raniri, Abdul Rauf al-Singkili dan sebagainya. Hamzah Fansuri pernah mengatakan
bahwa ia banyak menerjemahkan kitab-kitab dalam bahasa Arab dan Persia ke dalam
bahasa Arab Melayu untuk bangsanya yang tidak mengenal bahasa Arab dan Persia.
(Tjandrasasmita, 1993, 194).
Perkembangan tulisan Arab Melayu ini
dapat di lihat di berbagai daerah di Nusantara seperti Jawa, Nusa Tenggara
Barat, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Persebaran ini di lakukan oleh ulama
Aceh yang merupakan penulis kitab-kitab yang berbahasakan Arab Melayu ini
biasanya berbentuk naskah yang sebagaimana masih ada sebahagian dapat kita
jumpai pada zaman yang modren ini. Sedangkan tulisan pada naskah di Nusantara
pada umumnya berbentuk huruf Sulus, Naskhi dan Nasta’liq.
Di daerah Aceh itu ada ulama-ulama
yang banyak menulis tentang naskah yang bertulisan Arab Melayu antara lain:
a. Hamzah
Fansuri
Dengan
karangannya Syarab al-Asyikin, Asra al-Arifin dan Al-Muntahi, Kitab Syarab al-Asyikin (minuman orang Birahi)
di angap karyanya yang paling pertama dan sekaligus di tulis dalam bahasa
Melayu. (Abdul Hadi, 2003: 110).
b. Syamsuddin
al-Sumatrani
Ini
merupakan salah satu murid dari Hamzah Fansuri yang juga menulis naskah
bertulisan Arab Melayu dalam karangannya Mir’at
al-Mu’min, Syarh Rubba’I Hamzah al-Fansuri, Jauhar al-Haqa’iq.
c. Naruddin
al-Raniri
Karya
dari Naruddin ini seperti fikih, tasawuf
dan serta kesejarahan. Naruddin ini selain memberikan riwayat hidupnya dia
juga memberikan daftar karangannya yang berjumlah 32 buah baik dalam bahasa
Arab maupun Melayu. Tetapi Al-Raniri ini lebih pandai mempergunkan bahasa Jawi
dari pada bahasa Arab.
d. Abdul
Rauf Al-Singkili
S ejumlah
karyanya itu ditulisnya di bidang keagamaan seperti fikih, sufisme, dan kumpulan hadis. Kitabnya yang beredar adalah Tarjuman Al-Mustafid. (Azra, 1994:204).
Selain
Aceh sebagai pusat penulisan kata Jawi, Palembang pada zaman Kesultanan juga
banyak melahirkan ulama-ulama anatara lain: Syihabuddin, Kemas Fakhruddin,
Muhammad Muhyiddin, Kemas Muhammad, dan yang paling menonjol adalah ‘Abdussamad
Al-Palimbani dengan karyanya dalam bahasa Melayu ialah Zuhrat Al-Murid fi Bayan Kalimat Tauhid yang membahas tentang
logika. Sebenarnya perkembangan tulisan Melayu ini berkembang pada masa
Kesultanan Palembang saat Sultan Jamaluddin dan Sultan Abdur Rahman yang
berkuasa. Sedangkan tulisan melayu yang paling awal adalah Seribu Masa’il (1712). (Azra, 1994:345).
Khususnya
di daerah Sumatera itu masih banyak lagi pusat penulisan naskah yang bertulisan
Arab Melayu diantaranya seperti di daerah Riau yang berpusat di pulau Penyengat
sejak abad 18-19 M. Tokoh yang terkenal diantaranya adalah Engku Haji Ahmad,
dan putranya yang bernama Ali Haji. Adapun karyanya adalah Sair Hukum Nikah,
Syair Hukum Fara’id dan lain sebagainya. (Yundiafu, 2003: 162). Raja Ali Haji
juga membuat karya tulis yang bersifat panduan untuk raja-raja di bidang
ketatanegaraan dan nasehat seperti Samarat Al-Muhimmah Diyafah lil-‘umara
wal-Kubara li Ahlil-Mahkmah, Syair Nasihat, dan Gurindam Dua Belas.
Selain
Raja Ali Haji dan ayahnya Engku Haji Ahmad ada pengarang yang terkenal
diantaranya Raja Daud bin Raja Ahmad yang mengarang Syair Pangeran Syarif Hasyim dan Encik Kamariah yang menulis
tentang Syair Sultan Mahmud di Lingga.
Di
daerah Kerinci itu terdapat 92 naskah yang berbahasa Arab Melayu yang isinya
berupa piagam dan undang-undang. Semantara di Sumatera Barat masa dahulu
tempat penulisan naskah berbahasa Melayu terdapat di Pagaruyung yang merupakan
pusat kerajaan. Naskah ini berisikan tentang
sejarah (tambo), Undang-undang, dan sayir-syair. (Djamaris, 2004: 130).
Naskah
melayu juga terdapat di NTB yaitu Lombok dan Bima. Naskah-naskah di Lombok yang
berbahasa Melayu diantaranya Istra’
Mi’raj, Hikayat Abu Nawas, Cerita-Certia Nabi Muhammad dan lain sebagainya.
Sedangkan di Bima itu ada naskah tentang Bo,
Do’a, Filsafat, Hikayat, Silsilah, Surat Keputusan dan lain sebagainya.
(Rukmi, 2004: 185).
Sedangkan
di Indonesia bahagian Timur yaitu di Maluku juga terdapat naskah-naskah
bertulisan Arab Melayu terutama di Ternate dan Tidore yang menjadi pusat
kesultanan sejak abad 16 M. Naskah di Maluku ini di kelompokan kebeberapa
bagian yaitu geografi, sejarah dan cerita
rakyat, perjanjian dan kontrak, laporan catatan surat, pamberitahuan,
peringatan, bahasa dan sastra. Diantara surat yang tertua dari Ternate yang
sekarang tersimpan di Arsip Nasional, Libson yang merupakan dari Sultan Abu
Hayat kepada raja Portugal pada tanggal 2 April dan November 1521. (Musa, 2006:
42). Diantara hikayat yang terpenting di Maluku ini adalah Hikayat Tanah Hitu yang di tulis oleh Rijali pada pertengahan abad
ke-17. Naskah ini berada di Perpustakaan Universitas Leiden.
Dari
Indonesia paling Timur, selanjutnya kita ke arah Barat yaitu ke Buton,
Sulawesi, dan Kalimantan. Naskah di Buton selain berbahasa Wolio juga terdapat
dalam bahasa Melayu, antara lain karya Muhammad Isa Qaimuddin, Istiadat Tanah Negeri Butun yang ditulis
pada masa pemerintahan Sultan Butun XXX (1621-1871). Kemudian Haji Abdul Gani
menulis dalam bahasa Melayu yang judulnya Mir’at
a-Tanah dan Kebun Segala Saudara di Dalam Berkat Ibadah Kepada Tuhan yang
kemudian dikenal dengan Hikayat Negeri
Butun. (La Niampe, 2004: 172). Sejumlah naskah dalam bahasa Melayu di
Sulawesi Selatan telah dicatat dalam Khazanah Naskah yang disusun oleh hanri
Chambert-Lion dan Oman Fathurahman, dianta lain yang ada di Universitas Hasanuddin,
di Mesium Negeri Provinsi Sulawesi Selatan, La Galigo Ujung Padang, di Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Dari
daerah Kalimantan kita kenali naskah-naskah yang pernah ditulis dalam bahasa
Melayu seperti di daerah Banjarmasin. Tulisan naskah Melayu ini seperti Undang-undang, Sejarah, Keagamaan,
surat-surat dan lain sebagainya. Dari naskah yang berisi undang-undang
dianataranya dalah Undang-Undang Sultan Adam. Sedangkan contoh yang bersifat
sejarah adalah Hikayat Bandjar, dan
Sisilah Pangeran Antasari. Ulama yang terkenal menulis pada abad ke-18 di
Kalimantan ini adalah Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812). Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari ini juga dimasukan sebagai ulama pembaruh abad 18
dan ahli fikih atau syari’at dengan kitabnya Sabil Al-Muhtadin. (Azra, 1994: 251). Tidak hanya itu dia juga ahli
dalam bidang tasawuf dan astronomi dengan tulisannya Ilmu Pertanian dan Ilmu Falak.
Naskah
di Banjarmasin ini terdapat di Museum Lambung Mangkurat, tentang syair dan
hikayat ada 50 naskah, di Yayasan Pendidikan Islam Pagar Alam, Martapura
tentang ilmu falak, fikih, Al-Qur’an, kitab Mantik dan lain-lain ada 10 naskah,
di Perpustakaan Nasional di Jakarta juga terdapat naskah dari Banjarmasin
antara lain Hikayat Bandjar dan Kota Waringin, Undang-Undang Kota Waringin dan
lainnya ada 11 naskah, di Perpustakaan Universitas Leiden dicatat ada 26
naskah. (Mu’jizah, 2004: 158).
Sedangakan
tuliasan Arab Melayu di Jawa itu dapat kita jumpai dalam bentuk naskah seperti Hikayat Hasanuddin di Banten yang
diperkirakan dari abad ke 18 M. Merupakan karya Moehammad Saleh, cucu Sultan
Abdul Mufakhir Muhmud Abdulkadir (Edel, 1938: 10-11). Di Betawi juga terdapat
hasil karya tulisan Arab Melayu (Jawi) ini bisa diketahui melalui daftar yang
di buat oleh Mu’jizah. Yang daftar bukan hanya di Jakarta saja tetapi juga
terdapat di luar negeri. Naskah Betawi ini di kelompokkan yang terdiri dari Hikayat-Hikayat, dan Syair-Syair.
(Mu’jizah, 2004: 179).
Begitu
banyak jumlah naskah yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dari Aceh
sanpai ke Tarnate-Tidore. Sedangkan awal perkembangan pengunaan tulisan Jawi
dan bahasa Melayu sejak abad ke 14 yang sebagai bukti kongkritnya ada lah Batu Bersurat Terengganu dan Hikayat
Raja-Raja Pasai yang terdapat di Pasai. Kemudian perkembangan
penggunanannya terutama dalam penulisan naskah-naskah sastra klasik,
surat-surat, perjanjian-perjianjian, dan lain sebagainya.
Wilayah
Aceh merupakan penyumbang terbesar dalam penulisan naskah Islam baik yang
bertulisan Arad dan Arab Melayu di Nusantara. Ini di karenakan oleh kerajaan
besar Islam yang pertam muncul di Samudera Pasai (1270-1514) dan kemudian digantikan
oleh Aceh Darussalam (1514-1700). Disamping kesultanan kerajaan Islam terbesar
di nusantara juga merupakan pusat peradaban Islam terpenting di Asia Tenggara
sebelum datangnya kolonial. Sedangkan tempat penulisannya tersebar luas di
berabagai pelosok di Nusantara. Dari Aceh sampai Madura, dari Gorontalo di
Sulawesi sampai Banten di Jawa Barat, dari Pontoianak dan Banjarmasin di
Kalimantan hingga Lombok dan Bima di Nusa Tenggara, dari Solo dan Yogyakarta
hingga Ternate dan Ambon di kepulauan Maluku. Adapun aksara yang digunakan
sebahagian besar bertulisan Arab Melayu.
3. KEBERADAAN TULISAN ARAB MELAYU PADA
ZAMAN MODERN
Penggunaan
tulisan Arab Melayu (Armel) atau Tulisan Jawi (Tulwi) di Indonesia sekarang
bisa dikatakan sudah hampir punah. Kalau pun dipelajari pada Pondok Pesantren,
lebih mengutamakan tulisan Arab gondol/Kitab Kuning. Demikian kondisinya juga
pada sekolah-sekolah umum, tidak pernah lagi diajarkan kepada murid.
Seiring
dengan perkembangan zaman, lambat-laun tulisan ini ditinggalkan masyarakat.
Bukan berarti model tulisan ini tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, tidak
sama sekali, namun yang menyebabkan Ia ditinggalkan karena kebijakan dari
pemerintah kita sendiri.
Salah
satu contohnya, pada tahun 70-an hingga 80-an pemerintah menggalakkan program
penuntasan buta aksara. Seluruh masyarakat diajarkan membaca latin. Jika saja
ada yang tidak bisa membaca tulisan latin, maka mereka dicap sebagai buta
aksara, sekalipun Ia mampu dan lancar menulis dan membaca Arab Melayu. Artinya
pada masa itu pemerintah tidak mengakui Arab Melayu yang telah melekat di
tengah masyarakat kita. (http://rasausati.blogspot.com/2011/10/mengenal-arab-melayu.html.).
Meskipun
pengunaan Arab Melayu di Nusantara sudah mulia menghilang namun ada juga
sebagian daerah yang juga memakai tulisan Arab Melayu baik itu untuk pendidikan
di sekolah dasar yang di kenal dengan Muatan Lokal juga terdapat tulisan Arab
Melayu untuk nama jalan dan kantor hal ini dapat kita di jumpai di daerah Riau
yang sekarang masih mengunakan Arab Melayu.
Papan
Nama RSUD Arifin Achmad yang menggunakan Tulisan Arab Melayu
|
4. KEGUNAAN DAN FUNGSI ARAB MELAYU
Dari paparan di atas dapat kita
tarik berberapa fungsi dari tulisan Arab Melayu di kalangan kerajaan dan
masyarakat Nusantara pada umumnya. Dianatar fungsinya adalah seabagai berikut:
a. Fungsi
pengunaan bahasa Melayu di Indonesia yaitu dalam perdagangan sehingga bahasa
Melayu menjadu Lingua Franca.
b. Fungsinya
dalam bidang keagamaan itu terbukti dari banyaknya naskah-naskah Melayu yang
isinya mengenai Fikih, Syariat, Tasawuf
Atau Suluk, Teologi, Tafsir, Ilmu Falak,dan lain sebagainya.
c. Berfungsi
untuk melakukan perjanjian-perjanjian antara kerajan-kerajan Islam dengan negara
asing seperti Eropa. Hal ini terbukti dengan banyaknya surat menyurat,
contohnya surat Sulatan Aceh yaitu Sutan Alaudiin Ri’ayat Syah tahun 1602
kepada Harry Middleton dan Sultan Iskandar Muda tahun 1615 keapad Raja James I.
Juga Sultan Abu Hayat dari Ternate kepada Raja Portugal tahun 1521.
d.
Dalam pembuatan Undang-Undang itu
banyak terdapat naskah-naskah Melayu seperti Undang-Undang Minang Kabau, dan Undang-Undang Sultan Adam.
PENUTUP
KESIMPULAN
Tulisan arab melayu yang kita dengar pada zaman sekarang ini
merupakan sebuah pengembangan dari tulisan arab yang disesuaikan dengan bahasa
melayu. Bahasa arab yang datang ke daerah nusantara beserta tulisannya yang
dibawa oleh para pedagang islam dari arab sangat mempengaruhi adanya tulisan di
daerah nusantara khusunya bagi orang-orang melayu.
Tulisan ini
semakin berkembang dari tahun ke tahun. Tulisan arab melayu masih belum
diketahui siapa tokoh pertama yang memakai tulisan ini. Tetapi tanda
keberadaannya sudah diketahui melalui hasil penelitian yang ditemukannya sebuah
prasasti pada zaman kerajaan melau di Nusantara.
Penggunaan lambang huruf Arab Melayu
tidak hanya terjadi antar sesama bangsa Melayu, namun juga dengan bangsa
lainnya, khususnya Eropah. Penulisan Arab Melayu antar bangsa ini meliputi
perjanjian dagang, surat-menyurat antar raja-raja Melayu dengan pemerintah
Eropa, dan lain sebagainya. Arab Melayu tidak hanya didominasi oleh Islam. Banyak
produk obat dan makanan asal Eropah dan Cina yang juga menggunakan Arab Melayu
dalam kemasan produknya. Bahkan pada tahun 1890-an, Abdullah Munsyi, Malaysia,
dipercayakan pemerintah Hindia Belanda untuk menulis Al-Kitab (Injil) yang
bertulisan Arab Melayu untuk kepentingan Misionaris Eropa. Injil ini masih
tersimpan dalam museum di Banjarmasin.
Mulai 1960-an, Arab Melayu akhirnya
benar-benar terpinggirkan. Setiap orang dituntut harus mampu membaca latin.
Semua kitab pelajaran pada sekolah pribumi hingga madrasah mulai dirambah oleh
tulisan latin. Ditambah lagi pada tahun 1980-an, keberadaan tulisan Arab Melayu
secara nasional seakan ‘dijajah’ oleh adanya upaya pemberantasan buta huruf.
Orang-orang tua kita dinista karena tidak dapat tulis-baca huruf latin dan
dicap sebagai buta huruf, meskipun mereka mampu tulis-baca aksara Arab Melayu.
Sementara bagi mereka yang mampu tulis-baca latin, walaupun tidak tahu
tulis-baca Arab Melayu, tidak mendapat penistaan ‘buta huruf’. Akibatnya,
generasi Melayu yang lahir di atas tahun 1970-an banyak yang buta aksara Arab
Melayu bahkan tidak mampu membaca al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Hadi W. M, 2003, Adab dan Adat Refleksi
Sastra Nusantara, Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional.
Azra,
Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XIII, Bandung: Mizan.
Djamasri,
2004, Tempat-Tempat Perkembangan Sastra Melayu Sumatera Barat, Sastra Melayu Lintas Daerah, Jakarta:
Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional.
Edel, Jon, 1938,
Hikayat Hasanoeddin, Drukkerj n
Unitgeverszaak B, Ten Drink Meppel.
La
Niampe, 2004, “Buton” Sastra Melayu
Lintas Daerah, Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional.
Mu’jizah,
2004, “Naskah-Naskah di Banjarmasin, di Betawi”, Sastra Melayu Lintas daerah, Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen
Pendidikan Nasional.
Musa,
Hashim Haji, 2006, Sejarah Perkembangan
Tulisan Jawi, Edisi Kedua, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.
Rukmi, Maria Indra, 2004 Naskah-Naskah di Lombok ditulis dalam Sastra Melayu Lintas Daerah,
Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional.
Tjandrasasmita,
Uka, 1993, Jaman Pertumbuhan dan
Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Sejarah Nasional
Indonesia III, Edisi ke-4, Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, PN,
Balai Pustaka.
Yatim,
Othman Mohd, 1988, Batu Aceh Early
Islamic Gravestones In Peninsular Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.
Yudiafi,
Siti Zahra, 2003, “Tuhfat Al-Nafis: Sumber Sejarah Riau”, Adab dan Adat Refleksi Sastra Nusantara, Jakarta: Pusat Bahasa
Depertemen Pendidikan Nasional
http://rasausati.blogspot.com/2011/10/mengenal-arab-melayu.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar