Sabtu, 16 Maret 2013

diponegoro



PENDAHULUAN
            Perjuangan yang dilakukan masyarakat Indonesia terhadap kolonialisme terjadi diberbagai daerah seperti Maluku Tengah, Sumtera Barat, Jawa Tengah dan Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Bali dan lain-lain. Tapi dalam pembahasan sejarh Indonesia ini pemekalah hanya akan membahas perjuanga melawan kolonialisme di Jawa.
            Perang di Jawa atau perang Diponegoro melawan penjajah terjadi pada tahun 1825 sampai dengan 1830. Perperangan ini terjadi karena beberapa faktor. Tetapi faktor yang membuat perang ini meletus adalah Puncak kemarahan Pangeran Diponegoro terjadi saat kolonial Belanda berencana membangun jalan dari Yogyakarta ke Magelang. Pembangunan Jalan ini ternyata melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Ini yang membuat Pangeran Diponegoro semakin marah dan mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Beliau kemudian memerintahkan pengikutnya mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.
Dalam mempelajari sejarah yang membahas tentang perjuangan melawan kolonialisme yang terjadi di Jawa atau yang dikenal dengan perang Jawa atau perang Diponegoro. Kita juga harus mengetahui siapa Diponegoro itu, latar belakang lahirnya perang Diponegoro, jalan perangnya Diponegoro, dan berakhirnya perang Diponegoro.
Pembahasan serta jawaban dari pertanyaan di atas akan pemakalah paparkan pada bab selanjutnya.




PEMBAHSAN
PERJUANGAN MELAWAN KOLONIALISME DI JAWA 1825-1830
            Disini pemakalah terlebih dahulu akan menjelaskan arti tentang kolonialisme. Kolinialisme adalah suatu sistem pemukiman warga suatu negara diluar wilayah induknya atau negara asalnya. Kolonialisme adalah suatu sistem yang digunakan sebuah negara dalam rangka menjalankan politik pendudukan atau penjajahan terhadap negara lain.[1] Koloialisme adalah mendominasi penguasa pribumi dan memperalatnya untuk keuntungan negaranya sendiri.[2]
            Dapat diambil pengertian baru bahwa kolonialisme adalah suatu sistem yang menguras sumber kekayaan negara pribumi  demi kepentingan dirinya sendiri atau memperalat negara pribumi hanya untuk kepentingan negaranya sendiri. Koloialisme adalah suatu sistem yang hanya kepentingan untuk negara sendiri baik dari hasil bumi terutama rempah-rempah dari negara jajahannya.
            Kolonialisme seperti inilah yang dipraktekan oleh Belanda Terhadap bumi Indonesia ini. Dimana lebih kurang tiga setengah abad, kekayaan alam Indonesia dieksploitasi atau dibabat hanya untuk kemajuan negara Belanda.[3] Dimana hasil bumi Indonesia ini diambil oleh Belanda dengan pekerjanya adalah masyrakat Indonesia lalu hasilnya dibawah kenegar Belanda tanpa menghiraukan pekerja dan bangsa Indonesia.  Sungguh Suatu perbuatan yang kejam terhadap masyarakat Indonesia. Mungkin ini salah satu contoh kolonialisme terhadap koloni atau negara jajahannya yang paling hebat di dunia dan terutama dalam masyarakat Indonesia.
            Dinisi pemakalah hanya terfokus pada Pangeran Diponegoro yang merupakan perlawanna masyarakat Jawa terhadap kolonialisme dalam mempertahankan daerahnya.
A.   Latar Belakang Lahirnya Perang Di Jawa Yang Juga Disebut Denga Perang Diponegoro
            Perang melawan penjajah di Jawah Tengah dan Jawa Timur yang berlangsung antara tahun 1825 sampai dengan tahun 1830, disebut juaga Perang Diponegoro, atau perang Jawa. Perjuangan ini ditujukan pada kekuasaan asing yaitu Hindia Belanda yang selalu ikut campur dalam urusan pemerintahan Yogyakarta.[4] Peimpin perang Jawa atau Diponegoro ini adalah putra Sultan Hamengku Buwono III dari selirnya yang bernama Pangeran Diponegoro. Sedangkan nama lengkapya adalah Abdul Hamid Dipoegoro yang waktu kecil bernama Ontowiryo. Pangeran Diponegoro ini lahir pada tanggal 11 November 1785 di jawah Tengah dan pangern Diponegoro wafat di Makasar pada tanggal 8 januari 1855 pada usia 69 tahun dan dimakamkan di Makasar.[5]
            Jadi pangeran Diponegoro adalah pahlawan nasional, juga pejuang kemerdekaan, juga seorang tokoh agama Islam terkemuka di Pulau Jawa. Nama besarnya hingga kini masih melekat disebuah Universitas di Semarang yang diberi nama Universitas Diponegoro dan namanya juga dipakai dijalan-jalan protokol di berbagai kota besar di Indonesia.  Perjuangan beliau populer dengan nama Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa yang berlangsung antara tahun 1825 sampai 1830.
B.   Faktor-Faktor Diponegoro Melawan Kolonialisme
            Perang Diponegoro terhadap Belanda disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1.    Kekuasaan Raja Mataram semakin lemah, wilayahnya dipecah-pecah.
2.    Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan dan pengangkatan raja pengganti.
3.    Kaum bangsawan sangat dirugikan karena sebagian besar sumber penghasilannya diambil alih oleh Belanda. Mereka dilarang menyewakan tanah bahkan diambil alih haknya.
4.     Adat istiadat keratin menjadi rusak dan kehidupan beragama menjadi merosot.
5.    Penderitaan rakyat yang berkepanjangan sebagai akibat dari berbagai macam pajak, seperti pajak hasil bumi, pajak jembatan, pajak jalan, pajak pasar, pajakt ernak, pajak dagangan, pajak kepala, dan pajak tanah.[6]
6.    Penduduk masih dikenakan kewajiban rodi (tanama paksa).
7.    Adanya perlarangan saling mengonrak tanah anatara kaum bangsawan dengan pihak swasta oleh Gubernur Jendral Van Der Capellen.[7]
            Puncak kemarahan Pangeran Diponegoro terjadi saat kolonial Belanda berencana membangun jalan dari Yogyakarta ke Magelang. Pembangunan Jalan ini ternyata melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Ini yang membuat Pangeran Diponegoro semakin marah dan mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Beliau kemudian memerintahkan pengikutnya mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.
            Sejak itulah perang jawa berkobar, Pangeran Diponegoro membuat basis perlawanan di gua Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Istri setianya RA. Retnaningsih juga menemaninya bergerilya. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.[8]
            Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
            Tindaka-tindakan Belanda menimbulkan perasaan tidak senang pada diri Pangeran Deponegoro apa lagi saat Belanda membuat jalan yang megenai makam leluhur Pangeran Diponegoro. Dengan demikan disini lah puncak kememarahan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda.
C.   Jalanya Perang
            Pada tanggal 29 Juli 1825 Gubernur Jenderal Van der Capellen mengirimkan Letnan Jenderal Henrik Marcus de Kock ke Surakarta. Dengan demikian perperangan semakin meningkat. Dari jalanya peperangan pasukan Diponegoro berhasil bergerak maju merebut beberapa daerah seperti Pacitan pada tanggal 6 Agustus 1825 dan Purwodadi pada tanggal 28 Agustus 1825. Karena pasukan meliter  Belanda kurang kuat dalam awal perperangan ini.[9] Sementra itu perperangan juga terjadi antara Belanda dan Pangeran Diponegoro di Banyumas, Pekalongan, Semarang, Madium, dan Kertosono. Bahkan dalam perang di Lengkong, seorang opsir Belanda dan dua pangeran kesultanan tewas, serta daerah Delanggu jatuh ketangan Diponegoro.[10]
            Daerah pertempuran makin lama makin meluas. Di daerah Kedu terjadi pertempuran yang sangat sengit di desa Dinoyo. Disini Diponegoro menghadapi lawan yang besar jumlahnya yaitu 2000 orang gabungan antara pasukan Belanda dan pasukan Tumenggung Danuningrat merupakan bupati Kedu yang memihak Belanda. Pasukan Belanda mulai unggul pada tahun 1827 dengan bantuan pasukan dari Sumatra dan Sulawesi yang berpihak pada Belanda.[11]
            Jenderal de Kock mulai menerapkan sistem Benteng Stelsel, yaitu membangun benteng disetiap yang berhasil dikuasai, kemudian membuat jalan untuk menghubungkan pasukan yang satu dengan yang lainnya, sehingga pasukan Belanda dapat bergerak dengan cepat. Sistem benteng yang dilakukan Belanda berhasil mempersempit gerak pasukan Diponegoro. Sehingga hubungan pasukan Diponegoro terputus dari yang satu dengan yang lainnya. Karena mereka hanya mempertahankan daerah operasinya masing-masing. Hal tersebut sangat menguntungkan bagi pasukan Belanda, sehingga pada tahun 1827 perlawanan dari pasukan Pangeran Diponegoro mulai kendur. Faktor utamanya adalah karena pasukan Belanda semakin kuat dan sepurna taktik perangnya. Terputusnya hubungan antar pasukan menyebabkan sulitnya koordinasi, sehingga banyak pimpinan pasukan Diponegoro yang gugur, tertangkap, dan menyerah.[12] Seperti tertangkapnya Pangera Suryomataram da Ario Prangwadono tertangkap pada 19 Januari 1827, sedang Pangeran Serang dan Pangeran Notoprojo tertangkap pada tanggal 21 Juni 1827. Penyerahan kedua pangeran ini diikuti oleh anggota pasukan yang lainnya.[13]
            Dapat dilihat dari uraian diatas bahwa dalam perang Diponegoro ini, pertama pertempuran dimenangkan oleh pasukan Diponegoro karena pada pertempuran pertama pasuka Belanda masih belum kuat. Namun dalam peperangan selanjutnya Belanda mendapat bantuan pasukan dan mendirikan suatu Benteng Stelsel sehingga pasukan Diponegoro mulai kendur.
            Meskipun Belanda mengunakan sistem benteng dan menggempur pasukan Diponegoro habis-habisan, namun mereka tidak mampu memadamkan perlawanan pasukan Diponegoro. Oleh karena itu Belanda mengunakan tipu muslihat dengan mengajak berunding para pemimpin pasukan Diponegoro. Pada tahun 1828, Belanda mengajak berunding Kyai Mojo. Perundingan pu disepakati dan diadakan di Desa Melangi. Perundingan ini gagal karena Kyai Mojo kembali kepasukannya, Kyai Mojo ditangkap dan dibuang ke Minahasa oleh Belanda. Kyai Mojo menionggal dunia pada tahun 20 Desember 1849. Sementara itu Sentot Albasah Prawirodirjo masih bergerak, dan pada akhir tahun 1828, dalam sebuah pertempuran, ia mampu menewaskan seorang opsir Belanda dan seorang pangeran. Kemudian, Jenderal Kock beberapa kali mengajak berunding, namun Sentot menolaknya. Akan tetapi setahun kemudian perundingan antara Belanda dengan Sentot berlangsung yang dipihak Belanda diwakili oleh Bupati Madiun. Akhirnya Sentot menyerah pada Belanda tahun 1829, begitu pula dengan putra Pangeran Diponegoro dan patihnya menyerah pada Belanda tahun 1830. Keadaan ini  menjadi pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro meskipun demi kian ia tetap masih bertahan.[14]
D.   Berakhirnya Perang Diponegoro
            Walaupun mendapat pukulan yang berat dari tertangkpanya putra dan Kyai Mojo dan menyerahnya Sentot namun Pangeran Diponegoro tetap gigih melawan para kolonial. Dengan adanya tipu muslihat ini yang mana diadakan perundingan yang bertujuan hanya untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Maka disinilah berakhirnya perang Jawa yang dipelopori oleh Pabgerab Diponegoro.
            Jenderal De Kock akhirnya menggunakan siasat tipu muslihat melalui perundingan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro bersedia hadir untuk berunding di rumah Residen Kedu di Magelang. Dalam perundingan tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap dan ditawan di Semarang dan dipindah ke Batavia. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1830 dipindah lagi ke Manado. Pada tahun 1834 pengasingannya dipindah lagi ke Makassar sampai meninggal dunia pada usia 70 tahun tepatnya tanggal 8 Januari 1855. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. Untuk menghormati jasa-jasa beliau, pemerintah RI memberikan gelar pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI Mo 087/TK/1973.[15]
            Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.[16]
E.   Keberhasilan Yang Diraih Oleh Diponegoro
            Dalam pertempuran pertama yaitu pada tahun 1825 pasukan Diponegoro menang melawan Kolonialisme karena pada saat itu pasukkannya sedikit dan pasukan meliternya lemah. Dalam pemulaan perang  nampak jelas, pasukan Diponegoro berhasil bergerak maju merebut beberapa daerah seperti Pacitan pada tanggal 6 Agustus 1825 dan Purwodadi pada tanggal 28 Agustus 1825. Adanya pasukan Balkiya ialah salah satu pasukan diponegoro yang terkenal berani yang dipimpin oleh Haji Usman Alibasah dan Haji Abdulkadir.Seconegoro memimpin barisan kanan, sedangkan Kertonegoro memimpin di bagian sayap kiri. Adapun pasukan Bulkiya ini bertindak sebagai dada pasukan yang akhirnya pasukan Belanda yang terdiri dari 2000 orang dapat dipukul mundur dan disini mati seorang bupati Kedu yaitu Tumenggung Danunigrat dan pasukan Balkiya berhasil merampas beberapa pucuk senapan dan mariam beserta pelurunya. Selanjutnya pada tanggal 28 Agustus 1826 Diponegoro berhasil mendesak pasukan musuh dan menduduki daerah tersebut yaitu Delanggu.

F.    Akibat Dari Perang Diponegoro
1.   Dari Pihak Belanda
            Banyak para meliter tertinggi Belanda yang gugur dalam perperangan seperti pada tanggal 9 Juni 1826 yaitu terbunuhnya seorang Klonel Belanda  dan dua orang wali dari Sultan Hamengku Buwono II yang berpihak pada Belanda. Menggeluarkan uang yang cukup banyak untuk membiayai perperangan ini.
2.   Pihak Diponegoro
            Banyak bumiputera yang meninggal dan juga Diponegoro sendiri yang menyebabkan berakhirnya perang Diponegoro. Selain itu daerah kekuasaan Diponegoroh jatuh ketangan Belanda.

PENUTUP
1.    Kesimpulan
            Pembahasan diatas dapat pemakalah simpulkan bahwa Diponegoro adalah seorang pejuang sekaligus orang yang taat beragama dan adat istiadat. Peperanga Diponegoro ini terjadi karena adanya campur tangan kolinialisme dalam pemerintahan kerajaan. tetapi faktor yang membuat Diponegoro marah adalah saat pemerintahan Belanda merencanakan pembuatan jalan yang melintasi leluhur Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini Diponegoro ditangkap dengan tipu muslihat dengan mengajak Diponegoro berunding. Dengan demikan perang Diponegoro pun berakhir dengan meninggalnya Diponegoro pada tahun 1855 dan dimakamkan di Makasar.












DAFTAR PUSTAKA

Herman, Sejarah Pergerakan Nasional Kajian Kolonialisme dan Ide Kemerdekaan pada Pemekiran Ki Hajar Dewantara, Padang: IAIN IB Press, 1999.
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV.    Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Moh. Syamsi, Abu Farhan dan S.Sa’adah, Rangkuma Pengetahuan Agama Islam. Surabaya: Amelia, Tanpa tahun.
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Sukadi & Odih, Sejarah Nasional Dan Umum. Bandung: Ganeca Exact, 1997.
http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/pangeran-diponegoro.html. Jum’at 21-10-2011. 21. 59.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pangeran_Diponegoro . 21- 10 -2011. 21.54.


[1] Herman, Sejarah Pergerakan Nasional Kajian Kolonialisme dan Ide Kemerdekaan pada Pemekiran Ki Hajar Dewantara, Padang: IAIN IB Press, 1999. hal. 7.
[2] Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994. hal. 7.
[3] Herman, 1999. hal. 7.
[4] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV.    Jakarta: Balai Pustaka, 1993. hal. 184.
[5] Moh. Syamsi, Abu Farhan dan S.Sa’adah, Rangkuma Pengetahuan Agama Islam. Surabaya: Amelia, Tanpa tahun. hal. 232.
[6]Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1993. hal. 186.
[7] Sukadi & Odih, Sejarah Nasional Dan Umum. Bandung: Ganeca Exact, 1997. hal.26.
[8] http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/pangeran-diponegoro.html. Jum’at 21-10-2011. 21. 59
[9] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1993. hal. 196.
[10] Sukadi & Odih, Sejarah Nasional Dan Umum. Bandung: Ganeca Exact, 1997. hal. 27.
[11] http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/pangeran-diponegoro.html. 21- 10-20 11. 21.59.
[12] Sukadi & Odih, Sejarah Nasional Dan Umum. Bandung: Ganeca Exact, 1997. hal. 27.
[13] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1993. hal. 200.
[14] Sukadi & Odih, Sejarah Nasional Dan Umum. Bandung: Ganeca Exact, 1997. hal. 27-28.
[15] http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/pangeran-diponegoro.html. 21- 10-20 11. 21 59
[16] http://id.wikipedia.org/wiki/Pangeran_Diponegoro .21- 10 -2011. 21.54.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar