MASJID
SULTAN RIAU, PULAUPENYENGAT
|
Masjid
Sultan Riau Pulau Penyengat
|
1. Letak
Mesjid Sultan Riau Pulau Penyengat
Pulau
Penyengat atau lengkapnya
bernama Pulau
Penyengat Indera Sakti, adalah pulau kecil di kota Tanjung Pinang,
Ibukota provinsi
Kepulauan Riau (KEPRI). Pulau kecil dengan luas sekitar 240 hektar
atau 3,5 kilometer persegi namun menyimpan begitu banyak warisan sejarah
kebesaran Riau di masa lalu, sejarah sebuah kesultanan Islam yang begitu
berpengaruh. Sebut saja penyair Raja Ali Haji yang
terkenal dengan karyanya yang begitu melegenda Gurindam Dua Belas, adalah
salah satu Pahlawan Nasional Indonesia dan dinobatkan sebagia Bapak bahasa
melayu Indonesia, berasal dari Pulau kecil ini. Bila berkesempatan berkunjung
ke Pulau ini anda dapat menikmati bait bait Syair Gurindam Dua Belas yang
terpatri rapi di tembok dalam komplek pemakaman Engku Putri, tempat dimana
Makam Raja Ali Haji
berada.
Masjid Sultan Riau
berada dalam kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat dapat
dicapai beberapa menit menggunakan perahu motor atau dalam bahasa setempat
disebut Pompong atau pancung, dari dermaga Sri Bintan Indrapura kota Tanjung Pinang. Jangan
lupa untuk masuk ke dermaga lokal bukan dermaga antar bangsa. Karena dermaga
kota Tanjung
Pinang selain melayani rute lokal, antar pulau antar provinsi, juga
melayani perjalanan laut internasional.
Dari Kota Industri Batam, dapat dicapai menggunakan Kapal cepat dengan lama
perjalanan kurang lebih satu jam dari beberapa dermaga di Kota Batam ke dermaga Tanjung Pinang. Sementara
perjalanan dari pulau pulau lain Indonesia, selain dapat ditempuh dengan
transit di kota Batam,
dapat memilih rute perjalanan laut langsung ke dermaga Tanjung Pinang atau rute
penerbangan langsung ke Bandar Udara Internasional Haji Fisabilillah, di
kawasan Kijang, Kota Tanjung
Pinang. Tergantung mana yang lebih nyaman bagi perjalanan anda.
Masjid Sultan Riau atau lebih dikenal dengan sebutan
Masjid Pulau
Penyengat merupakan bangunan dari masa kegemilangan kesultan Riau di Pulau Penyengat
yang masih terawat baik dari masa itu hingga hari ini. Masjid yang kadang juga disebut sebagai
masjid putih telur itu berada
di posisi yang begitu mecolok mata dengan warna kuning menyala, dapat dipandang dengan mata telanjang dari pantai kota Tanjung Pinang,
seakan menyambut dengan ramah semua
orang yang berkunjung ke Pulau Penyengat.
Keberadaan masjid ini menjadi Ikon sejarah
yang begitu penting bagi Pulau Penyengat dan provinsi
Kepulauan Riau.
2. Sejarah
Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat
a. Masjid Putih Telur
Masjid yang disebut sebut sebagai masjid putih telur ini,
pada proses pembangunannya memang banyak menggunakan putih telur untuk campuran
material kapur, pasir dan tanah liat yang dipakai untuk membangun masjid ini.
Hal tersebut terjadi karena begitu melimpahnya pasokan telur dari masyarakat
secara suka rela bagi keperluan para pekerja pembangunan masjid ini hingga
telur telur yang tak habis untuk di konsumsi kemudian oleh para pekerja waktu
digunakan sebagai pencampur material dengan harapan agar masjid ini lebih kokoh
dan tahan lama.
b. Mahar Sultan Mahmudsyah Untuk Engku Putri
Pulau
Penyengat merupakan Mahar
(emas Kawin) dari Raja Mahmudsyah untuk Istrinya, Engku Putri atau Raja Hamidah
di tahun 1805. Engku Putri atau Raja Hamidah adalah putri dari Raja Haji
Fisabilillah Yang dipertuan muda Riau ke-4. Di tahun yang sama
dimulai pembangunan masjid kecil dari kayu di lokasi yang sama. Penerus Sultan
Mahmudsyah yang kemudian membangun masjid ini hingga berwujud seperti yang
sekarang kita lihat.
Sejarah mencatat bahwa perkawinan Raja Mahmudsyah dengan
Engku Putri ini menjadi peristiwa yang penting terkait dengan Kesultan Riau
Johor, karena Engku Putri di beri amanat untuk memegang lambang lambang
kebesaran kesultanan atau Regelia yang menjadi syarat syah nya penobatan
seorang Sultan menurut tradisi setempat. Itu sebabnya di jaman kekuasaan
Belanda, pemerintah kolonial Belanda berusaha sekuat tenaha untuk merampas
lambang lambang tersebut dari tangan Engku Putri. Namun Engku Putri teguh
memegang amanah hingga ahir hayatnya.
c. Renovasi dan perluasan
Pembangunan masjid secara besar-besaran dilakukan ketika
Abdurahman Muazham Shah berkuasa di Riau dengan gelar Yang Dipertuan Muda
Riau-Lingga (1832-1844) menggantikan Raja Ja'far. Tak lama setelah memegang
jabatan itu, pada 1 Syawal tahun 1284 H (1832 M), setelah usai shalat Idul
Fitri, beliau menyeru masyarakat untuk bergotong royong membangun masjid. Dalam
gotong royong itulah, masyarakat membawa berbagai perbekalan. Termasuk telur.
Karena berlimpah, banyak putih telur yang tidak habis dimakan. Dan oleh
pekerja, putih telur itu dijadikan campuran adukan.
Sejak dibangun tahun 1832 dengan bangunan beton seperti
yang kita lihat sekarang ini. Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat, tidak
pernah di renovasi atau di ubah bentuknya. Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat ini sudah
dijadikan situs cagar budaya oleh pemerintah Republik Indonesia.
3.
Gerbang Mesjid Sultan Riau
Masjid
tersebut berdiri di atas tanah yang lebih tinggi sehingga untuk kesana, kita harus melalui anak tangga yang ditempatkan di
tengah-tengah gerbang. Sebuah lengkungan berhiaskan ornament khas melayu dengan tulisan arab berlafaz Masjid Sultan Riau yang berada di bawahnya dan tulisan Masjid Raya Sultan Riau Penyengat menghias di sana.
4. Di
Halam Mesjid
Masuk kehalaman masjid, kami mendapati bangunan utama yang merupakan ruang sholat ada tepat di depan kami. Sementara itu di sisikanan dan kiri terdapat bangunan semacam balai yang terbuat dari kayu. Bangunan tersebut disebut sebagai Rumah Sotoh yang fungsi sebagai tempat pertemuan dan tempat
orang biasanya menghidangkan makanan ketika kenduri dan untuk berbuka puasa
yang disediakan pengurus mesjid setiap hari. Selain itu masih ada beberapa bangunan yang ada di sana seperti bangunan semacam perpustakaan atau kantor serta dua tempat wudlu.
Semua itu berada dalam
areal seluas 54,5 x 23,5 meter.
Foto Rumah Sotoh di
Halaman Mesjid
5. Bentuk
Arsitektur Mesjid Sultan Riau
Sesuai informasi
yang ada, masjid ini memiliki ukuran panjangnya 20 meter dan 18 meter lebarnya
dengan ditopang oleh 4 buah tiang beton. Pada tiap sudut bangunan terdapat 4
buah menara. Dulunya menara ini digunakan sebagai tempat muazin mengumandangkan
azan, sebelum kemudian digantikan dengan pengeras suara yang dipasang di ke
empat menara tersebut. 13 buah kubah berbentuk bawang ada di bagian atas
masjid. Sehingga jumlah keseluruhan kubah dan menara adalah 17 sebagai simbol
dari 17 raka’at sholat fardu dalam sehari. Corak bagian dalam 13 kubah tersebut
juga memiliki corak dan variasi yang berbeda satu sama lainnya, ada yang
berbentuk bulat, segi tiga, segi lima, segi empat dengan lonjong keatas, yang
menurut sejarahnya diartikan sebagai sholat lima waktu memiliki jumlah rakaat
yang berbeda. Dalam dua kali pameran mesjid pada Festival Istiqlal di Jakarta
(1991-1995) disebutkan bahwa Mesjid Sultan Riau Pulau Penyengat ini merupakan
mesjid pertama di Indonesia yang memakai kubah. Masjid ini merupakan satu-satunya peninggalan
Kerajaan Riau-Lingga yang masih ada.
Keindahan arsitektur
masjid sangat unik. Masjid ini bergaya India karena memang tukang-tukang yang
membangun bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari
Singapura.
Saat pertama kali
dibangun, Masjid Sultan Riau berwarna putih, saat ini sudah dicat dengan warna
kebesaran Melayu, warna kuning dipadukan dengan warna hijau sebagi warna
kebesaran umat Islam. Ruangan Masjid Sultan Riau bisa dibagi lima ruangan,
sebagai penanda Rukun Islam ada lima, ditopang empat tiang beton didalam
ruangan berdiameter sekitar 1 meter yang menggambarkan Gurindam Dua Belas yang
dinyatakan Raja Ali Haji, "Barang siapa mengenal yang empat, maka dia
itulah orang yang ma`rifat". Empat tiang tersebut juga menandakan Islam
mempunyai empat Mazhab, yaitu Hambali, Maliki, Syafii dan Hanafi.
6. Mimbar
Dalam Mesjid Sultan Riau
peninggalan sejarah
yang ada di masjid tersebut berupa Mimbar untuk Khatib dalam Sholat Juma`t yang
didatangkan dari Demak dibuat tahun 1832, berupa kayu jati ukiran Jepara dan
masih difungsikan sampai sekarang untuk Khatib Sholat Jum`at dan hari raya. Mimbar
ini dipesan deari Jepara, Jawa Tengah, sebanyak dua mimbar. Satu mimbar
diletakkan di Mesjid Sultan di Pulau
Penyengat, sedangkan mimbar
lain yang berukuran lebih kecil, diletakkan pada mesjid di Daik. Sementara
lampu kristal hadiah dari Kerajaan Prusia (Jerman) pada tahun 1860-an masih
terpasang di salah satu bagian kubah masjid.
Di dekat mimbar
Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat ini disimpan sepiring pasir yang berasal
dari Makkah al-Mukarramah, dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua bangsawan Riau
pertama mengerjakan haji tahun 1820-an. Pasir tersebut senantiasa digunakan
masyarakat dalam upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk
pertama kali bagi kanak-kanak.
7.
Al-Qur’an Tulisan Tangan Koleksi Masjid Sultan Riau
Selain bangunan
yang indah, masjid Penyengat menyimpan dua mushaf Alquran tulisan tangan yang
diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh
Abdurrahman Stambul. Putera Riau asli Pulau
Penyengat yang dikirim oleh
Sultan untuk belajar ke Turki pada tahun 1867.
Ada Alquran tulis
tangan lain yang ada di masjid, yaitu Alqur`an tulisan tangan Abdullah Al
Bugisi tahun 1752. Namun, tak diperlihatkan kepada umum karena sudah terlalu
tua dan rapuh serta rentan akan kerusakan. Uniknya, di bingkai mushaf Alqur’an
ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran. Bahkan, terdapat
berbagai terjemahan dalam bahasa Melayu, kata per kata di atas tulisan
ayat-ayat tersebut. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab termasuk kitab
kitab kuning, dalam dua lemari di sayap kanan depan masjid.
Alqur`an tulisan
tangan Abdurrahman Stambul masih bisa dilihat didalam Masjid yang dipajang
didalam lemari kaca persis didepan pintu masuk, sedangkan karya Abdullah Al
Bugisi tidak bisa dilihat lagi dan disimpan karena sudah rusak dan rapuh.
8.
Tradisi Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat
Masjid Raya Sultan
Riau Pulau
Penyengat memiliki tradisi
unik dalam memperingatai hari-hari besar Islam, seperti tahun baru Islam setiap
tanggal 1 Muharram yang ditandai dengan berkeliling kampung selama tiga hari
pada malam hari dengan Ratib Saman. Tujuannya untuk pembersihan kampung dari
hal-hal yang tidak baik, seperti mengazankan tempat-tempat yang dianggap
angker.
Pada Maulid Nabi
Muhammad SAW juga berkeliling kampung sebelum membacakan Kitab Al-Barzanji di
Masjid. Selain itu juga pembacaan hikayat Isra Mi`raj Nabi Muhammad S.A.W saat
peringatan Isra Mi`raj. Beberapa hari sebelum datang bulan Ramdhan setiap tahun
juga dilakukan `Kenduri Jamak` yang diikuti seluruh warga Penyengat dan warga
lainnya di Masjid Sultan Riau.
9. Cagar
Budaya
Masjid Raya Sultan
Riau atau Masjid Raya Penyengat, ditetapkan pemerintah sebagai benda cagar
budaya bersama 16 situs sejarah lainnya di Pulau milik Engku Putri itu.
Pemerintah bersama warga Pulau
Penyengat tetap berusaha
melestarikan peninggalan sejarah Kerjaan Riau-Lingga di pulau itu.
10. Tujuan
Wisata Rohani
Masjid Sultan Riau Pulau
Penyengat senantiasa menarik
perhatian para pengunjung dari berbagai daerah, terutama di bulan suci
Ramadhan. Pengunjung dari berbagai daerah Indonesia serta dari manca negara
terutama dari Singapura dan Malaysia berdatangan ke masjid ini. Selain untuk
melakanakan sholat juga untuk menikmati keindahan masjid tua ini.
Pelestarian
benda-benda cagar budaya di Pulau
Penyengat dibawah pengawasan
Pemkot Tanjungpinang, provinsi
Kepulauan Riau, Kementerian
Kebudyaan dan Pariwisata, serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3)
Batusangkar, Sumatra Barat dan Balai Arkeologi Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar