PENDAHULUAN
Kabupaten
Kuantan Singingi (Kuansing) adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau,
Indonesia. Kabupaten Kuansing disebut pula dengan rantau Kuantan atau sebagai
daerah perantauan orang-orang Minangkabau (Rantau nan Tigo Jurai). (Suwardi,
dkk, 1984:75). Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Kuansing menggunakan
adat istiadat serta bahasa Minangkabau. ( Kabupaten ini berada di bagian barat
daya Propinsi Riau dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Indragiri Hulu.
Kuansing
memiliki banyak budaya diantarnya adalah Randai, Silek Pangean, Turun Mandi Di
Pangean, Perahu
Baganduang Lubuk Jambi, Rarak Godang dan Nandong, dan Pacu Jalur. Dismping itu
banyak juga terdapat Potensi Wisata Sejarah di Kabupaten Kuantan Singingi cukup
banyak diantaranya Tambang Batu Bara Peninggalan Jepang (Kecamatan Singingi
Hilir), Rumah Adat Koto Benai (Kecamatan Benai), Rumah Adat Kota Rajo
(Kecamatan Pangean), Mesjid Jami’ di Koto Sentajo, dan banyak lagi yang
lainnya. Dari sekian banyak budaya dan tempat sejarah penulis hanya akan
mencoba untuk mengungkap suatu budaya yaitu Pacu Jalur yang sudah terjadi
secara turun temurun.
Pacu
Jalur merupakan salah satu event yang tidak boleh dilewatkan bila anda berada
di kabupaten Kuantan Senggigi, Provinsi Riau. Pacu Jalur adalah perlombaan
tradisional mendayung perahu panjang, yaitu sebuah perahu atau sampan yang
terbuat dari kayu pohon yang panjangnya bisa mencapai 25 hingga 40 meter.
Perahu Panjang itulah yang disebut dengan Jalur. Jumlah tim pendayung untuk
setiap Jalur cukup banyak antara 50 – 60 orang.
Pacu
Jalur diselenggarakan di pinggir Sungai Kuantan (Teluk Kuantan) yang juga
terkenal dengan nama Tepian Narosa di Kecamatan Kuantan Tengah, Kabupaten
Kuantan Singingi, Propinsi Riau, Indonesia. Untuk lebih dalam lagi mari kita lihat
pada pembahasan selanjutnya.
PACU JALUR DI KUANTAN
SINGINGI
Setiap
daerah di Indonesia pasti lah memiliki budaya tersendiri yang merupakan ciri
khas dari daerahnya. Karena budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar. (Koentjaraningrat, 2000:180). Memang bangsa
Indonesia kaya akan budaya dan seni yang bisa di banggakan bahkan telah sampai
pada tingkat internasional dan tersebar di mancan negara.
Salah
satu budaya yang telah tingkat internasional adalah budaya pacu jalur yang di
adakan satu kali dalam satu tahun yang terdapat di daerah Taluk Kuantan Kab.
Kuasing Riau. Bahkan sejak beberapa
tahun, pacu jalur telah masuk kedalam kalender pariwisata nasional di Riau yang
diadakan oleh masyarakat Kuansing. Tidak hanya Pemkab Kuansing, Pemprov Riau
juga merasa sangat bertanggung jawab untuk melestarikan budaya rakyat yang amat
luhur sejak ratusan tahun tersebut. Bahkan pada tahun 2005 lalu Wakil Presiden
HM Jusuf Kalla berkesempatan hadir guna menyaksikan kgeiatan tersebut sekaligus
membuka acara. Pembukaan kegiatan budaya pacu jalur yang digelar masyarakat
Kuantan Singingi berlangsung cukup meriah.
Tingginya
minat masyarakat untuk menyaksikan pembukaan lomba pacu jalur, membuat Wakil
Presiden, Jusuf Kalla takjub. Bahkan dalam sambutannya Wapres melukiskannya
sebagai bukti cintanya masyarakat terhadap budaya dan tradisi yang diturunkan
nenek moyang.
Pacu
Jalur adalah sejenis lomba dayung tradisional khas daerah Kuantan Singingi
(Kuansing) yang hingga sekarang masih ada dan berkembang di Propinsi Riau.
Lomba dayung ini menggunakan perahu yang terbuat dari kayu gelondongan yang
oleh masyarakat sekitar juga sering disebut jalur. Upacara adat khas daerah
Kuansing ini diselenggarakan setiap satu tahun sekali untuk merayakan Hari
Kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya pada tanggal 23—26 Agustus. Panjang
perahu/jalur yang digunakan dalam lomba ini berkisar antara 25—40 meter dengan
jumlah atlet 40—60 orang tiap perahu. Biasanya, festival ini diikuti oleh
ratusan perahu dan melibatkan beribu-ribu atlet dayung, serta dikunjungi oleh
ratusan ribu penonton baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Pacu
Jalur adalah salah satu Even Wisata Kebanggaan Provinsi Riau, khususnya
Kabupaten Kuantan Singingi. Ada yang mengatakan Pacu Jalur ini sama dengan Even
Wisata Dayung Perahu Naga. Itu salah besar. Kalau mirip mungkin iya. Karena
Pacu Jalur mempunyai keunikan tersendiri. Dimulai dari mencari pohon besar
untuk perahu, pembuatannya sampai kegelanggang pacu. Inilah daya tarik even
wisata tradisional yang mendunia. Setiap even Pacu Jalur ini ada saja peserta
dari luar negeri yang turut serta. Berikut ini paparan tentang Pacu Jalur,
dimulai dari asal usul, pembuatan sampai ke tata cara perlombaanya.
1.
Asal
Usul dan Perkembangan
Kuantan Singingi adalah sebuah daerah
yang secara administratif termasuk dalam Provinsi Riau. Daerahnya banyak
memiliki sungai. Kondisi geografis yang demikian, pada gilirannya membuat sebagian
besar masyarakatnya memerlukan jalur sebagai alat transportasi Kemudian, muncul
jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau
harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya. Selain itu, ditambah
lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah
(gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). http://id.wikipedia.org/wiki/Pacu_Jalur).
Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak
sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya
penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur
berhias itu. Perkembangan selanjutnya (kurang lebih 100 tahun kemudian), jalur
tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan simbol status sosial
seseorang, tetapi diadu kecepatannya melalui sebuah lomba. Dan, lomba itu oleh
masyarakat stempat disebut sebagai “Pacu Jajur”.
Pada awalnya pacu jalur diselenggarakan
di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar
Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, atau Tahun Baru 1 Muharam.
Ketika itu setiap perlombaan tidak selalu diikuti dengan pemberian hadiah.
Artinya, ada kampung yang menyediakan hadiah dan ada yang tidak menyediakannya.
Lomba yang tidak menyediakan hadiah diakhiri dengan acara makan bersama. Adapun
jenis makanannya adalah makanan tradisional setempat, seperti: konji, godok,
lopek, paniaran, lida kambing, dan buah golek. Sedangkan, lomba yang berhadiah,
penyelenggara mesti menyediakan empat buah marewa2 yang ukurannya berbeda-beda.
Juara I memperoleh ukuran yang besar dan juara IV memperoleh ukuran yang paling
kecil. Namun, dewasa ini hadiah tidak lagi berupa marewa tetapi berupa hewan
ternak (sapi, kerbau, atau kambing).
Ketika Belanda mulai memasuki daerah
Riau (sekitar tahun 1905), tepatnya di kawasan yang sekarang menjadi Kota Teluk
Kuantan, mereka memanfaatkan pacu jalur dalam merayakan hari ulang tahun Ratu
Wilhelmina yang jatuh pada setiap tanggal 31 Agustus. Akibatnya, pacu jalur
tidak lagi dirayakan pada hari-hari raya umat Islam. Penduduk Teluk Kuantan
malah menganggap setiap perayaan HUT Ratu Wilhelmina itu sebagai datangnya
tahun baru. Oleh karena itu, sampai saat ini masih ada yang menyebut kegiatan
pacu jalur sebagai pacu tambaru. Kegiatan pacu jalur sempat terhenti di zaman
Jepang. Namun, pada masa kemerdekaan pacu jalur diadakan kembali secara rutin
untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia (17-
Agustusan). (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kuantan_Singingi)
2.
Pemain
Pacu Jalur
Pacu jalur hanya dilakukan oleh para
laki-laki yang berusia antara 15--40 tahun secara beregu. Setiap regu jumlah
anggotanya antara 40--60 orang (bergantung dari ukuran jalur). Anggota sebuah
jalur disebut anak pacu, terdiri atas: tukang kayu, tukang concang (komandan,
pemberi aba-aba), tukang pinggang (juru mudi), tukang onjai (pemberi irama di
bagian kemudi dengan cara menggoyang-goyangkan badan) dan tukang tari yang
membantu tukang onjai memberi tekanan yang seimbang agar jalur
berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama. Selain pemain, dalam lomba pacu
jalur juga ada wasit dan juri yang bertugas mengawasi jalannya perlombaan dan
menetapkan pemenang.
3.
Tempat
Permainan Pacu Jalur
Pacu jalur biasanya dilakukan di Sungai
Batang Kuantan. Sebagaimana telah dikatakan di atas, Sungai Batang Kuantan yang
terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu dan Kecamatan Cerenti di
hilir, telah digunakan sebagai jalur pelayaran jalur sejak awal abad ke-17. (http://www.jalanjalanyuk.com/pacu-jalur-balapan-perahu-kayu-di-kuansing/).
Dan, di sungai ini pulalah perlombaan pacu jalur pertama kali dilakukan.
Sedangkan, arena lomba pacu jalur bentuknya mengikuti aliran Sungai Batang
Kuantan, dengan panjang lintasan sekitar 1 km yang ditandai dengan tiga tiang
pancang.
4.
Peralatan
Permainan Pacu Jalur
Peralatan permainan dalam pacu jalur,
tentu saja adalah jalur yang dibuat dari batang kayu utuh, tanpa dibelah-belah,
dipotong-potong atau disambung-sambung. Panjang jalur antara 25--30 meter,
dengan lebar ruang bagian tengah 11,25 meter. Bagian-bagian jalur terdiri atas:
(1) luan (haluan); (2) talingo (telinga depan); (3) panggar (tempat duduk); (4)
pornik (lambung); (5) ruang timbo (tempat menimba air); (6) talingo belakang;
(7) kamudi (tempat pengemudi); (8) lambai-lambai/selembayung (pegangan tukan
onjor); (9) pandaro (bibit jalur); (10) ular-ular (tempat duduk pedayung); (11)
selembayung (ujung jalur berukir); dan (13) panimbo (gayung air). Jalur
dilengkapi pula dengan sebuah dayung untuk setiap pemain.
Bagian selembayung dan pinggir badan
jalur biasanya berukir dan diberi warna semarak. Motifnya bermacam-macam
seperti: sulur-suluran, geometris, ombak, buruk dan bahkan pesawat terbang.
Tiap-tiap jalur mempunyai nama seperti: Naga Sakti, Gajah Tunggal, Rawang
Udang, Kompe Berangin, Bomber, Pelita, Orde Baru, Raja Kinantan, Kibasan Nago
Liar, Singa Kuantan Sungai Pinang, Dayung Serentak, Keramat Jati, Panggogar
Alam, Tuah di Kampuang Godang di Rantau, Ratu Dewa dan lain-lain. Tujuan dari
pengukiran, pewarnaan dan pemberian nama pada setiap jalur tersebut adalah agar
dapat “tampil beda” dari yang lain.
Untuk dapat membuat sebuah jalur-lomba
yang biasanya mewakili desa, kecamatan atau kabupaten, harus melalui proses
yang cukup panjang dan melibatkan banyak orang. Sebagai suatu proses, tentunya
pembuatan jalur dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Berikut ini
adalah tahap-tahap yang mesti dilakukan dalam pembuatan sebuah perahu yang oleh
orang Kuantan Singingi disebut jalur.
Hal pertama yang dilakukan adalah
menyusun rencana pembuatan jalur melalui musyawarah atau rapek kampung yang
dihadiri oleh berbagai unsur seperti pemuka adat, cendekiawan, kaum ibu dan
pemuda. Rapat ini biasanya dipimpin oleh seorang pemuka desa atau pemuka adat.
Bila kesepakatan telah dicapai, maka kegiatan selanjutnya adalah memilih jenis
kayu. Pohon yang dicari adalah banio atau kulim kuyiang yang panjangnya antara
25--30 meter dengan garis tengah antara 1½ --2 meter. Kedua jenis pohon
tersebut disamping kuat, tahan air, juga dipercayai ada “penunggunya”. Setelah
pohon yang memenuhi persyaratan ditentukan, maka penebangan pun dilakukan. Akan
tetapi, sebelumnya diadakan semacam upacara persembahan kepada “penunggu” pohon
agar pohon itu tidak hilang secara gaib. (http://jalanblog.wordpress.com/2012/09/30/serunya-pacu-jalur-kuansing/).
Kayu yang sudah disemah oleh pawang,
selanjutnya ditebang dengan kapak dan beliung. Setelah itu, kayu diabung
(dipotong) ujungnya menurut ukuran tertentu sesuai dengan panjang jalur yang
akan dibuat. Setelah diabung kedua ujungnya, kemudian kayu dikupas kulitnya dan
diukir pada bagian haluan, telinga, dan lambung. Apabila jalur sudah terbentuk,
maka langkah berikutnya adalah meratakan bagian depan (pendadan), yakni bagian
atas kayu yang memanjang dari pangkal sampai ke ujung. Kemudian disusul dengan
tahap mencaruk atau melubangi dan menghaluskan bagian dalam kayu dengan
ketebalan tertentu.
Selanjutnya menggaliak atau membalikkan
dan menelungkupkan kembali jalur untuk dibentuk dan dihaluskan. Pekerjaan ini
memerlukan perhitungan cermat sebab harus selalu menjaga ketebalan jalur agar
dapat seimbang ketika berada di air. Cara mengukurnya antara lain dengan
membuat lubang-lubang kakok atau bor yang kemudian ditutup lagi dengan semacam
pasak. Setelah terbentuk, maka jalur dibalikkan kembali dan kemudian
dilanjutkan dengan proses terakhir yaitu membuat haluan dan kemudi. Apabila
haluan dan kemudi telah terbentuk, maka jalur akan dibawa ke kampung untuk
diasapi dan disertai dengan upacara maelo jalur. Sebelum jalur diluncurkan ke
sungai, ada suatu upacara lagi yang bertujuan agar jalur dapat berlayar dengan
baik ketika sudah berada di air.
5.
Aturan
Permainan Pacu Jalur
Pacu jalur dapat dibagi menjadi beberapa
tingkatan, yaitu: (1) pacu antarbanjar atau dusun; (2) pacu antardesa atau
kelurahan; dan (3) pacu antarkecamatan yang ada di wilayah Kuantan Sengingi.
Aturan dalam ketiga tingkatan perlombaan pacu jalur tersebut tergolong mudah,
yaitu regu jalur yang dapat mencapai garis finish terlebih dahulu dari regu
lain, dinyatakan sebagai pemenangnya. Pertandingan pacu jalur biasanya
dilakukan dengan dua sistem yaitu: setengah kompetisi dan sistem gugur untuk
menentukan pemenang pertama hingga keempat dan sepuluh besar.
6.
Jalannya
Permainan Pacu Jalur
Perlombaan, baik antardusun, antardesa,
maupun antarkecamatan, diawali dengan membunyikan meriam. Meriam digunakan
karena apabila memakai peluit tidak akan terdengar oleh peserta lomba,
mengingat luasnya arena pacu dan banyaknya penonton yang menyaksikan perlombaan.
Pada dentuman pertama jalur-jalur yang telah ditentukan urutannya akan berjejer
di garis start dengan anggota setiap regu telah berada di dalam jalur. Pada
dentuman kedua, mereka akan berada dalam posisi siap (berjaga-jaga) untuk
mengayuh dayung. Dan, setelah wasit membunyikan meriam untuk yang ketika
kalinya, maka setiap regu akan bergegas mendayung melalui jalur lintasan yang
telah ditentukan. Sebagai catatan, ukuran dan kapasitas jalur serta jumlah anak
pacunya (peserta) dalam lomba ini tidak dipersoalkan, karena ada anggapan bahwa
penentu kemenangan sebuah jalur lebih banyak ditentukan dari kekuatan magis
yang ada pada kayu yang dijadikan jalur dan kekuatan kesaktian sang pawang
dalam “mengendalikan” jalur. (http://www.kuansing.go.id/269/20090729/269/).
Dalam pertandingan jalur, apabila
menerapkan sistem gugur, maka peserta yang kalah tidak boleh turut bermain
kembali. Sedangkan para pemenangnya akan diadu kembali untuk mendapatkan
pemenang utama. Namun apabila menggunakan sistem setengah kompetisi, setiap
regu akan bermain beberapa kali dan pada akhirnya regu yang selalu menang
hingga perlombaan terakhir akan menjadi juaranya.
7.
Nilai
Budaya Pacu Jalur
Nilai budaya yang terkandung dalam pacu
jalur adalah: kerja keras, ketangkasan, kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja
keras tercermin dari semangat para pemain yang berusaha agar jalurnya dapat
mendahului jalur regu lain. Nilai ketangkasan dan keuletan tercermin dari
teknik-teknik yang dilakukan oleh anggota sebuah regu dalam menjalankan jalur agar
dapat melaju dengan cepat dan tidak tenggelam. Nilai kerja sama tercermin dari
anggota regu yang berusaha bersama-sama mengendalikan jalur agar dapat melaju
cepat dan memenangkan perlombaan. Nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari
sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan,
tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.
PENUTUP
Kebudayaan
memang merupakan kebudayaan
adalah keseluruhan kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang
lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai
anggota masyarakat.
Sebagaimana yang di katakan Prof. Dr.
Koentjaraningrat bahwa
kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang
teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Salah
satu kebudayaan itu adalah yang terdapat di daerah Taluk Kuantan yang telah
terjadi secara turun temurun yaitu pacu jalur. Memang dari segi pelaksaannya
terdapat perubahan seperti pada awalnya perahau/jalur itu digunakan hanya untuk
alat tranportasi oleh masyarakat setempat. Namun akhirnya berobah menjadi alat
untuk menguji nyali dan kekompakan sebuah desa yang akan berlomba untuk
mendapatkan hadia yang sekaligus untuk mengharumkan nama desanya.
Dari
segi hadiah itu dahulunya jalur yang menang cukup dengan memakan konji, namun
saat ini hadiah yang didapat bagi jalur yang menang itu sudah lebih besar
seperti juara pertama mendapatkan kerbau, sapi uang tunai dan piala bergilir.
Begitulah perubahan yang terjadi pada budaya pacu jalur ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar