Minggu, 29 September 2013

THAHIR DI YAMAN DAN BU SA’ID DI OMAN



MAKALAH
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM III
Tentang
THAHIR  DI YAMAN DAN BU SA’ID DI OMAN


Oleh :
LINI SARTY
:
112.073
GIMIN SAPUTRA
:
110.084
SABIL SETIAWAN
:
112.066
             Dosen :


JURUSAN ILMU INFORMASI DAN PERPUSTAKAAN (IIP)
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1434 H / 2013 M


PENDAHULUAN
               Masa kekhalifahan dinasti Abbasiyah (Bani Abbas) adalah merupakan simbol kemajuan peradaban Islam dan  kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan didunia Islam. Kekhalifahan dinasti Abbasiyah ini berlangsung cukup lama yakni tahun 750 – 1258 M, dinasti ini di samping mengalami kemajuan yang cukup pesat juga mengalami kemunduran dan bahkan kehancuran. Masa kekhalifahan dinasti Abbasiyah dapat dibagi menjadi tiga periode yaitu;
A.    Periode keemasan ( 750 – 950 M),
B.     Periode disintegrasi (950 – 1050 M)
C.     Periode kemunduran dan kehancuran ( 1050 – 1258 M).
             Adapun yang menjadi pokok bahasan pada makalah ini adalah periode     pertengahan atau masa disintegrasi yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut
A.    Munculnya dinasti-dinasti kecil di barat maupun di timur  Baghdad yang berusaha melepaskan diri atau meminta otonomi.
B.     Perebutan kekuasaan oleh dinasti Buwaih dari Persia dan dinasti Seljuk dari Turki di pusat pemerintahan Bani Abbas di Baghdad sehingga mengakibatkan fungsi khalifah seperti boneka,
C.     Lahirnya perang salib antara pasukan Islam dan pasukan salib dari Eropa. 
            Lebih spesifik lagi makalah ini akan membahas tentang munculnya dinasti-dinasti kecil di timur Baghdad yang berusaha melepaskan diri atau meminta otonomi terhadap pemerintahan pusat , dinasti tersebut adalah dinasti Thahiriyyah dan dinasti Bu Sa’id di Oman.



PEMBAHASAN
THAHIR  DI YAMAN DAN BU SA’ID DI OMAN
A.    Dinasti Thahir
Pendiri Dinasti Bani Thahir di Yaman Selatan adalah Al-Zafir I Amir bin Thahir. Nama Dinasti Thahir dikaitkan dengan nama kakek Al-Zafir I, yaitu Syekh Thahir bin Tajuddin bin Ma’udhah, seorang tokoh yang terkenal di Yaman, khususnya Yaman Selatan. Masa pemerintahan Dinasti Thahir di Yaman mencapai sekitar 63 tahun, yaitu dari tahun 1454M sampai dengan 1517M yang secara resmi menganut paham Ahlus Sunnah wal Jamaah atau Suni.
B.     Latar Belakang Berdiri dan Pusat Pemerintahan
Kehadiran Dinasti Bani Thahir di Yaman sangat terkait dengan pemerintahan Bani Rasul sebelumnya. Sewaktu pemerintahan Dinasti Bani Rasul mengalami kemunduran dan lemah serta para pemimpinnya tak mampu mengatasinya. Akibatnya muncullah kekacauan dan ketidak-stabilan di tengah-tengah masyarakat. Sering terjadi konflik dan pertentangan di tengah-tengah masyarakat dan pemerintahan Bani Rasul waktu dipimpin oleh Al-Mas’ud Abu Qasim bin Asyraf III. Bahkan, ia melarikan diri atau pergi ke Mesir yang waktu itu dipimpin oleh Dinasti Mamluk.
Oleh sebab itu, Al-Zafir I , yang selama ini adalah pejabat Bani Rasul diminta untuk mengendalikan keadaan dan menenteramkan masyarakat, agar kehidupan masyarakat kembali stabil dan aman. Al-Zafir I berhasil mewujudkan harapan masyarakat tersebut. Maka itu, selanjutnya pimpinan pemerintahan di Yaman Selatan dipercayakan kepada Al-Zafir I, yakni mulai tahun 1454M dan dilanjutkan oleh keturunannya sampai dengan 1517M. (Maidir harun, 2001:14-16).
Pusat pemerintahan dinasti Bani Thahir tetap di kota Aden Yaman Selatan, berdasarkan pertimbangan politik, sosial dan ekonomi. Dari segi politik, masyarakat Yaman Selatan adalah penganut Suni yang secara politik adalah pendukung Dinasti Bani Thahir. Sedangkan pertimbangan ekonomi adalah bahwa  kota Aden telah tumbuh dan berkembang sebagai kota pelabuhan internasional, yang secara ekonomis sangat berarti bagi pemerintah.
C.     Perkembangan Peradaban Islam
1.      Bidang Politik dan Pemerintahan
Sebagai sebuah pemerintahan yang berbentuk dinasti, tentu system peralihan kepala pemerintahan didasarkan kepada keturunan. Maka selama lebih kurang 63 tahun masa pemerintahan Dinasti Thahir di Yaman Selatan, telah tampil 5 orang kepala pemerintahan yang diterima  secara turun-menurun, yaitu :
a.       Al-Zafir I Amir bin Thahir ( 857-870H)
b.      Al-Mujahid Ali bin Amir ( 870-883H)
c.       Al-Mansur Abdul Wahab bin Thahir (883-894H)
d.      Al-Zafir II bin Amir bin Abdul Wahab (894-923H)
e.       Amir bin Daud bin Thahir (923-945H). (Bosworth, 1980:206)
Selama pemerintahan Dinasti Bani Thahir, yang berpaham Suni sering terjadi konflik dan pertentangan dengan Imam-imam Syiah Zaidiyah yang berpengaruh di Yaman Utara, yang berpusat di kota San’a. Persoalan yang sering diperselisihkan adalah soal akidah, soal fikih, soal politik, soal hadis dan penafsiran tentang ayat-ayat al-Quran dan sebagainya. Pertentangan dan perbedaan pemahaman tersebut sering menimbulkan bentrokan pisik antara pasukan Bani Thahir dengan pasukan Imam-imam Syiah Zaidiyah, diantaranya : Peperangan antara pasukan Sultan Amir bin Daud bin Thahir dengan pengikut      Imam Nasir bin Muhamad. Peperangan ini dimenangkan oleh pasukan Sultan Amir bin Daud bin Thahir.
Peperangan antara pasukan  Sultan Amir bin Daud bin Thahir dengan pengikut Imam Muhamad bin Nasir. Peperangan  ini dimenangkan oleh pengikut Imam Muhamad bin Nasir.
Oleh sebab itu, tidak salah bila dikatakan bahwa antara Yaman Utara yang mayoritas penduduknya menganut paham Syiah , terutama Syiah Zaidiyah, sering bentrok dengan masyarakat Yaman Selatan yang mayoritas penduduknya berpaham Suni. Kondisi seperti ini tampaknya berlanjut sampai zaman modern sekarang.
2.      Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
            Pada masa pemerintahan Dinasti  Bani Thahir di Yaman Selatan banyak dibangun mesjid dan madrasah, sebagai lembaga pendidikan dasar dan menengah. Di samping itu, ilmu pengetahuan juga berkembang, seperti ilmu falak,matematika,ilmu kelautan, geografi dan ilmu-ilmu lainnya. Di Yaman Selatan terkenal beberapa orang ahli ilmu kelautan dan navigasi, seperti Ahmad bin Majid al-Adeni dan Sulaiman al-Makry. Di samping itu, juga terdapat beberapa orang ulama yang terkenal dalam bidang tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf , nahwu dan sharaf serta tarikh.
3.      Bidang Arsitektur
            Gedung-gedung yang dibangun oleh pemerintahan Dinasti Bani Thahir di Yaman Selatan menunjukan kemajuan pemerintahan ini dalam bidang ilmu arsitektur, berdasarkan pada kekokohan dan keindahannya. Ada mesjid yang dibangun dua lantai atau tingkat ; lantai satu untuk tempat beribadat dan lantai dua un tuk tempat belajar, asrama pelajar dan ruangan penginapan guru.
D. Keruntuhan Dinasti Bani Thahir
            Memasuki awal abad ke-16 M, pemerintahan Dinasti bani Thahir mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Sultan Al-Zafir II terbunuh dalam suatu pertempuran dengan pasukan Dinasti Mamluk yang datang dari Mesir pada 1516M. Pemerintahannya dilanjutkan oleh Amir bin Daud bin Thahir. Tetapi keadaan semangkin sulit dan tantangan juga semangkin berat. Oleh sebab itu, pemerintahan Amir bin Daud bin Thahir hanya mampu bertahan di kota Aden dan sekitarnya. Sebahagian besar wilayah Yaman dikuasai oleh Dinasti Mamluk, yang berpusat di Mesir. Untuk memerintah wilayah Yaman yang dikuasainya, pemerintahan Dinasti Mamluk mengangkat seorang amir/gubernur di Yaman.
            Pada tahun 1538M datang serangan pasukan Turki Usmani ke Yaman, di bawah pimpinan Sulaiman Basya, setelah sebelumnya telah mengalahkan Dinasti  Mamluk di Mesir pada 1517M. (Fhilip K. Hitti, 2002:907). Pasukan Turki Usmani datang menyerang Yaman atas permintaan Dinasti Bani Thahir karena merasa dikuasai oleh Amir Dinasti Mamluk, karena wilayah kekuasaannya hanya di sekitar kota Aden saja. Wilayah Yaman yang lainnya berada di bawah kekuasaan Diansti Mamluk. Pasukan Sulaiman Basya mampu mengalahkan Amir al-Nakhudah, perwakilan pemerintahan Dinasti Mamluk di Yaman. Maka dengan demikian, berakhirlah masa kekuasaan  Dinasti Mamluk  di Yaman Selatan.
            Selanjutnya, pemerintahan Dinasti Thahir juga tidak diberi kekuasaan oleh pasukan Turki Usmani di Yaman. Maka dengan demikian berakhirlah masa pemerintahan Dinasti Thahir dan resmilah Yaman berada di bawah kekuasaan Turki Usmani.
BANI BU SA’ID DI OMAN
A.    DINASTI BANI BU SA’ID DI OMAN
            Bani Bu Sa’id berasal dari Yaman yang pindah ke Oman. Pada umumnya mereka adalah pedagang. Mereka pindah ke Oman diperkirakan sudah sejak beratus-ratus tahun sebelum mereka tampil sebagai penguasa di wilayah Oman. Seperti telah disebutkan pada bab sebelum ini, bahwa di Oman sebelum masa pemerintahan  Dinasti Bu Sa’id telah memerintah Imam-imam Sekte Ibadiyah Khawarij (752-1507M) dengan 24 orang imam, dan pemerintahan Bani Al-Ju’aribah (1624-1734M). (Maidir Harun, 2001:17).
Setelah masa pemerintahan Bani Al-Ju’aribah, Oman dilanda kekacauan politik,sehingga menimbulkan ketidak-stabilan kehidupan masyarakat. Sering terjadi perselisihan dan peperangan antar suku dan kelompok. Melihat kondisi yang tidak baik ini maka tampillah tokoh Bani Bu Sa’id untuk mengatasinya, yaitu Ahmad bin Sa’id.


B.     Latar-belakang berdiri
Pada mulanya Ahmad bin Said adalah pejabat Bani Al-Ju’aribah dalam urusan ekonomi dan perdagangan. Ia diangkat pada jabatan  itu oleh Imam Saif bin Sultan, kepala pemerintahan Bani Al-Ju’aribah. Ahmad bin Said memakai gelar Imam Ibadhiyyah. (Boswort1980:105). Tetapi, kemudian terjadi perebutan kekuasaan antara Imam Saif bin Sultan dengan Imam Sultan bin Mursyid, dari keturunan Bani Al-Ju’aribah juga.
Dalam perebutan kekuasaan ini, Imam Saif bin Sultan meminta bantuan kepada Nadir Syah dari Kerajaan Shafawi di Persia. Permintaan tersebut dikabulkan oleh Nadir Syah dan terjadilah peperangan. Dalam peperangan ini Imam Saif bin Sultan dan Imam Sultan bin Mursyid sama-sama tewas. Imam Sultan  bin Mursyid tewas  ketika ingin mengusir pasukan Nadir Syah dari Kerajaan Shafawi keluar dari Oman.
Dengan peristiwa tersebut terjadilah kekosongan kekuasaan atau pemerintahan di Oman. Kesempatan ini dimamfaatkan oleh Ahmad bin Said, dari Bani Bu Sa’id. Ia ingin mengambil alih kekuasaan dari Bani al-Ju’aribah. Untuk mencapai maksud tersebut, ia mengumpulkan para ulama dan tokoh masyarakat Oman untuk membicarakan kondisi sosial-politik yang sedang melanda wilayah Oman, setelah meninggal dunianya dua tokoh Bani Al-Ju’aribah, yaitu Imam Saif bin Sultan dan Imam Sultan bin Mursyid. Keadaan kekosongan kekasaan dan pemerintahan yang sedang melanda Oman tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Oleh sebab itu harus dipilih siapa yang akan diangkat sebagai kepala pemerintahan di Oman. (Maidir Harun, 2001:17-18).
Berdasarkan kesepakatan pertemuan antara Ahmad bin Said dengan para ulama dan tokoh masyarakat Oman, setelah melalui perdebatan yang sengit dan alot akhirnya Ahmad bin Said diangkat menjadi kepala pemerintahan wilayah Oman, dengan ibu kotanya Masqat. Kesepakatan tersebut diambil berdasarkan kemampuan dan keberhasilan Ahmad bin Said memimpin selama ini, sebagai pejabat dari Bani Al-Ju’aribah dalam urusan ekonomi dan perdagangan. Dengan demikian, mulailah masa pemerintahan Bani Bu said di Oman sampai dengan masa sekarang, yakni masa pemerintahan Sultan Qabus.
Adapun Raja-Raja Yang Memerintah Bani Bu Sa’id Di Oman:
Ø  Ahmad Ibn Sa’id
Ø  Sa’id ibn Ahmad
Ø  Hamid Ibn Sa’’id
Ø  Sultan Ibn Ahmad
Ø  Salim ibn Sultan
Ø  Sa’id Ibn Sultan
Ø  Tsuwayni ibn Sa’id
Ø  Salim ibn Tsuwayni
Ø  ‘Azzan ibn Qays
Ø  Turki ibn Sa’id
Ø  Fayshal ibn Turki
Ø  Taymur ibn Fayshal
Ø  Sa’id ibn Taymur
Ø  Majid ibn Sa’id
Ø  Barghash ibn Sa’id
Ø  Khalifah ibn Barghash
Ø  ‘Ali ibn Sa’id
Ø  Hamid
Ø  Hammud
Ø  ‘Ali ibn Hammud
Ø  Khalifah
Ø  ‘Abdullah ibn Khalifah
Ø  Jamsyid ibn Abdullah. (Boswort, 1980:104-105).
b.      Perkembangan Peradaban Islam
Ada beberapa bidang kehidupan masyarakat yang dipandang mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Bani Bu Said di Oman, diantaranya adalah sebagai berikut :
Bidang Politik dan Pemerintahan
Pada hakekatnya, mulanya sistem pemerintahan dan politik yang dijalankan oleh Bani Bu Said di Oman adalah sistem pemerintahan dan politik menurut paham Khawarij, terutama dalam pelaksanaan pemilihan imam oleh Ahlul Ilmi. Tetapi,karena sering terjadi perselisihan dan konflik serta membawa kepada perpecahan di tengah-tengah masyarakat, terutama antara kelompok yang mendukung kepemimpinan seorang dengan kelompok yang menentangnya, maka pemerintahan Bani Bu Said tidak melaksanakannya lagi. Sebagai gantinya dipakai apa yang umum berlaku pada masa tersebut,yaitu sistem keturunan, Jabatan imam diwariskan oleh seorang imam yang sedang memerintah kepada keturunannya, seperti kepada anak, saudara, keponakan atau paman.
Namun demikian, sistem keturunan ini juga tidak sempurna,karena tidak jelas mana yang lebih diutamakan atau didahulukan bila terdapat dua orang atau lebih anak atau saudara dari imam yang sedang memerintah. Oleh sebab itu, sistem keturunan ini pun tidak jarang menimbulkan konflik dan pertentangan di antara keluarga imam. Yang paling ironis, seperti yang pernah terjadi dalam masa pemerintahan Bani Bu Said di Oman ini adalah seorang ayah yang sedang memerintah diturunkan oleh anaknya sendiri. Contohnya imam ke-2, yaitu Imam Said bin Ahmad diturunkan  dari jabatannya oleh anaknya sendiri, yaitu Imam Hamid bin Said pada tahun 1779M. Akibatnya, Imam Said bin Ahmad menyingkir ke kota Rustaq, beratus-ratus kilometer dari Oman, sampai akhirnya  ia meninggal dunia di kota ini pada 1821M.
Selanjutnya, pemerintahan Bani Bu Said di Oman memiliki ciri khas sebagai berikut : Kepala pemerintahan tidak memakai gelar imam, sebagaimana yang lazim berlaku di kalangan golongan Khawarij. Kebijakan ini dilakukan dengan beberapa alasan, diantaranya a) karena penduduk Masqat khususnya dan Oman pada umumnya sangat heterogen dari sudut keyakinan agama dan etnis, b) kepala pemerintahan lebih dominan mengurus urusan politik, dan c) sebahagian besar kepala pemerintahan yang berkuasa tidak memenuhi syarat imam, sesuai dengan konsep politik Khawarij.
Akibat kebijakan pemerintahan Imam-imam Bani Bu Said di atas, maka hubungan antara pemerintahan Bani Bu Said dengan ulama dan tokoh Khawarij makin lama makin renggang dan seolah-olah tidak ada hubungan sama sekali. Oleh sebab itu, akhirnya ulama dan tokoh-tokoh Khawarij tidak mengakui lagi adanya hubungan antara mereka dengan pemerintahan Bani Bu  Said di Oman.
Kepala pemerintahan Bani Bu Said di Oman akhirnya lebih senang memakai gelar said   dari pada imam  Bahkan, setelah Oman memasuki zaman modern, kepala pemerintahannya memakai gelar sultan, seperti Sultan Qabus bin Said, yang memerintah sejak tahun 1970 sampai dengan sekarang. Padahal, gelar kepala pemerintahan yang menggunakan istilah sultan hanya berlaku di kalangan Suni, yang dimulai sejak masa pemerintahan Daulah Abbasiyah mulai mengakui kepala pemerintahan di luar atau di dalam kota Bagdad. Sejak saat itu jabatan khalifah dipegang oleh Bani Abbasiyah, sedangkan jabatan sultan boleh dijabat oleh siapa saja di luar keturunan Bani Abbasiyah. (Maidir Harun, 2001:19-20).








PENUTUP
Dinasti Thahiriyyah didirikan oleh Thahir ibn Husein pada 205 di Naisabur, Khurasan, Persia. Ia merupakan kelompok etnis pertama di Timur Bagdad yang memperoleh semacam otonomi dari pemerintahan Bagdad. Thahir ibn Husein merupakan seorang jenderal pada masa khalifah Dinasti Abbasiyah. Thahir ibn Husein lahir di Marv pada 159 H dan berasal dari seorang keturunan wali Abbasiyah di Marv dan Harrah, Khurasan, Persia bernama Mash’ab ibn Zuraiq.
Bani Bu Sa’id berasal dari Yaman yang pindah ke Oman. Pada umumnya mereka adalah pedagang. Mereka pindah ke Oman diperkirakan sudah sejak beratus-ratus tahun sebelum mereka tampil sebagai penguasa di wilayah Oman. Seperti telah disebutkan pada bab sebelum ini, bahwa di Oman sebelum masa pemerintahan  Dinasti Bu Sa’id telah memerintah Imam-imam Sekte Ibadiyah Khawarij (752-1507M) dengan 24 orang imam, dan pemerintahan Bani Al-Ju’aribah (1624-1734M). (Maidir Harun, 2001:17).
Setelah masa pemerintahan Bani Al-Ju’aribah, Oman dilanda kekacauan politik,sehingga menimbulkan ketidak-stabilan kehidupan masyarakat. Sering terjadi perselisihan dan peperangan antar suku dan kelompok. Melihat kondisi yang tidak baik ini maka tampillah tokoh Bani Bu Sa’id untuk mengatasinya, yaitu Ahmad bin Sa’id.









DAFTAR PERPUSTAKAAN

Bosworth, C.E, Dinasti-Dinasti Islam, Endinburgh: University Pres, 1980.
Harun, Maidir, Kumpulan Makalah Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam III,  Padang, 2001.
K. Hitti, Philip, History Of The Arabs, New York: Palgrave Macmillan, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar