MAKALAH
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM III
Tentang
THAHIR DI YAMAN DAN BU SA’ID DI OMAN
Oleh :
LINI SARTY
|
:
|
112.073
|
GIMIN SAPUTRA
|
:
|
110.084
|
SABIL SETIAWAN
|
:
|
112.066
|
Dosen
:
JURUSAN
ILMU INFORMASI DAN PERPUSTAKAAN (IIP)
FAKULTAS
ADAB
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM
BONJOL PADANG
1434
H / 2013 M
PENDAHULUAN
Masa kekhalifahan dinasti Abbasiyah (Bani
Abbas) adalah merupakan simbol kemajuan peradaban Islam dan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan
didunia Islam. Kekhalifahan dinasti Abbasiyah ini berlangsung cukup lama yakni
tahun 750 – 1258 M, dinasti ini di samping mengalami kemajuan yang cukup pesat
juga mengalami kemunduran dan bahkan kehancuran. Masa kekhalifahan dinasti
Abbasiyah dapat dibagi menjadi tiga periode yaitu;
A. Periode
keemasan ( 750 – 950 M),
B.
Periode disintegrasi
(950 – 1050 M)
C. Periode
kemunduran dan kehancuran ( 1050 – 1258 M).
Adapun yang menjadi pokok bahasan
pada makalah ini adalah periode
pertengahan atau masa disintegrasi yang ditandai dengan hal-hal sebagai
berikut
A.
Munculnya
dinasti-dinasti kecil di barat maupun di timur
Baghdad yang berusaha melepaskan diri atau meminta otonomi.
B.
Perebutan kekuasaan
oleh dinasti Buwaih dari Persia dan dinasti Seljuk dari Turki di pusat
pemerintahan Bani Abbas di Baghdad sehingga mengakibatkan fungsi khalifah
seperti boneka,
C.
Lahirnya perang salib
antara pasukan Islam dan pasukan salib dari Eropa.
Lebih
spesifik lagi makalah ini akan membahas tentang munculnya dinasti-dinasti kecil
di timur Baghdad yang berusaha melepaskan diri atau meminta otonomi terhadap
pemerintahan pusat , dinasti tersebut adalah dinasti Thahiriyyah dan dinasti Bu Sa’id di Oman.
PEMBAHASAN
THAHIR DI YAMAN DAN
BU SA’ID DI OMAN
A.
Dinasti
Thahir
Pendiri Dinasti Bani Thahir di Yaman Selatan adalah Al-Zafir I Amir bin Thahir.
Nama Dinasti Thahir dikaitkan dengan nama kakek Al-Zafir I, yaitu Syekh Thahir
bin Tajuddin bin Ma’udhah, seorang tokoh yang terkenal di Yaman, khususnya
Yaman Selatan. Masa pemerintahan Dinasti Thahir di Yaman mencapai sekitar 63
tahun, yaitu dari tahun 1454M sampai dengan 1517M yang secara resmi menganut
paham Ahlus Sunnah wal Jamaah atau Suni.
B. Latar Belakang Berdiri dan Pusat Pemerintahan
Kehadiran Dinasti Bani Thahir di Yaman sangat
terkait dengan pemerintahan Bani Rasul sebelumnya. Sewaktu pemerintahan Dinasti
Bani Rasul mengalami kemunduran dan lemah serta para pemimpinnya tak mampu
mengatasinya. Akibatnya muncullah kekacauan dan ketidak-stabilan di
tengah-tengah masyarakat. Sering terjadi konflik dan pertentangan di
tengah-tengah masyarakat dan pemerintahan Bani Rasul waktu dipimpin oleh
Al-Mas’ud Abu Qasim bin Asyraf III. Bahkan, ia melarikan diri atau pergi ke
Mesir yang waktu itu dipimpin oleh Dinasti Mamluk.
Oleh sebab itu, Al-Zafir I , yang selama ini adalah
pejabat Bani Rasul diminta untuk mengendalikan keadaan dan menenteramkan
masyarakat, agar kehidupan masyarakat kembali stabil dan aman. Al-Zafir I
berhasil mewujudkan harapan masyarakat tersebut. Maka itu, selanjutnya pimpinan
pemerintahan di Yaman Selatan dipercayakan kepada Al-Zafir I, yakni mulai tahun
1454M dan dilanjutkan oleh keturunannya sampai dengan 1517M. (Maidir harun, 2001:14-16).
Pusat pemerintahan dinasti Bani Thahir tetap di kota
Aden Yaman Selatan, berdasarkan pertimbangan politik, sosial dan ekonomi. Dari
segi politik, masyarakat Yaman Selatan adalah penganut Suni yang secara politik
adalah pendukung Dinasti Bani Thahir. Sedangkan pertimbangan ekonomi adalah
bahwa kota Aden telah tumbuh dan berkembang
sebagai kota pelabuhan internasional, yang secara ekonomis sangat berarti bagi
pemerintah.
C. Perkembangan Peradaban Islam
1. Bidang
Politik dan Pemerintahan
Sebagai
sebuah pemerintahan yang berbentuk dinasti, tentu system peralihan kepala
pemerintahan didasarkan kepada keturunan. Maka selama lebih kurang 63 tahun
masa pemerintahan Dinasti Thahir di Yaman Selatan, telah tampil 5 orang kepala
pemerintahan yang diterima secara
turun-menurun, yaitu :
a.
Al-Zafir I Amir
bin Thahir ( 857-870H)
b.
Al-Mujahid Ali
bin Amir ( 870-883H)
c.
Al-Mansur Abdul
Wahab bin Thahir (883-894H)
d.
Al-Zafir II bin
Amir bin Abdul Wahab (894-923H)
e.
Amir bin Daud
bin Thahir (923-945H). (Bosworth, 1980:206)
Selama pemerintahan Dinasti Bani Thahir,
yang berpaham Suni sering terjadi konflik dan pertentangan dengan Imam-imam
Syiah Zaidiyah yang berpengaruh di Yaman Utara, yang berpusat di kota San’a.
Persoalan yang sering diperselisihkan adalah soal akidah, soal fikih, soal
politik, soal hadis dan penafsiran tentang ayat-ayat al-Quran dan sebagainya.
Pertentangan dan perbedaan pemahaman tersebut sering menimbulkan bentrokan
pisik antara pasukan Bani Thahir dengan pasukan Imam-imam Syiah Zaidiyah,
diantaranya : Peperangan antara pasukan Sultan Amir bin Daud bin Thahir dengan
pengikut Imam Nasir bin Muhamad.
Peperangan ini dimenangkan oleh pasukan Sultan Amir bin Daud bin Thahir.
Peperangan antara pasukan Sultan Amir bin Daud bin Thahir dengan
pengikut Imam Muhamad bin Nasir. Peperangan
ini dimenangkan oleh pengikut Imam Muhamad bin Nasir.
Oleh sebab itu, tidak salah bila dikatakan
bahwa antara Yaman Utara yang mayoritas penduduknya menganut paham Syiah , terutama Syiah Zaidiyah, sering bentrok dengan masyarakat
Yaman Selatan yang mayoritas penduduknya berpaham Suni. Kondisi seperti ini
tampaknya berlanjut sampai zaman modern sekarang.
2.
Bidang
Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Pada masa pemerintahan Dinasti Bani Thahir di Yaman Selatan banyak dibangun
mesjid dan madrasah, sebagai lembaga pendidikan dasar dan menengah. Di samping
itu, ilmu pengetahuan juga berkembang, seperti ilmu falak,matematika,ilmu
kelautan, geografi dan ilmu-ilmu lainnya. Di Yaman Selatan terkenal beberapa
orang ahli ilmu kelautan dan navigasi, seperti Ahmad bin Majid al-Adeni dan
Sulaiman al-Makry. Di samping itu, juga terdapat beberapa orang ulama yang
terkenal dalam bidang tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf , nahwu dan sharaf
serta tarikh.
3.
Bidang Arsitektur
Gedung-gedung yang dibangun oleh pemerintahan Dinasti
Bani Thahir di Yaman Selatan menunjukan kemajuan pemerintahan ini dalam bidang
ilmu arsitektur, berdasarkan pada kekokohan dan keindahannya. Ada
mesjid yang dibangun dua lantai atau tingkat ; lantai satu untuk tempat
beribadat dan lantai dua un tuk tempat belajar, asrama pelajar dan ruangan
penginapan guru.
D. Keruntuhan Dinasti Bani Thahir
Memasuki
awal abad ke-16 M,
pemerintahan Dinasti bani Thahir mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan,
baik disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Sultan Al-Zafir II
terbunuh dalam suatu pertempuran dengan pasukan Dinasti Mamluk yang datang dari
Mesir pada 1516M.
Pemerintahannya dilanjutkan oleh Amir bin Daud bin Thahir. Tetapi keadaan
semangkin sulit dan tantangan juga semangkin berat. Oleh sebab itu,
pemerintahan Amir bin Daud bin Thahir hanya mampu bertahan di kota Aden dan
sekitarnya. Sebahagian besar
wilayah Yaman dikuasai oleh Dinasti Mamluk, yang berpusat di Mesir. Untuk
memerintah wilayah Yaman yang dikuasainya, pemerintahan Dinasti Mamluk
mengangkat seorang amir/gubernur di Yaman.
Pada
tahun 1538M datang serangan pasukan Turki Usmani ke Yaman, di bawah pimpinan Sulaiman Basya, setelah
sebelumnya telah mengalahkan Dinasti
Mamluk di Mesir pada 1517M.
(Fhilip K. Hitti, 2002:907). Pasukan Turki Usmani datang menyerang Yaman atas permintaan Dinasti
Bani Thahir karena merasa
dikuasai oleh Amir Dinasti Mamluk, karena wilayah kekuasaannya hanya di sekitar
kota Aden saja. Wilayah Yaman yang lainnya berada di bawah kekuasaan Diansti
Mamluk. Pasukan Sulaiman Basya mampu mengalahkan Amir al-Nakhudah, perwakilan
pemerintahan Dinasti Mamluk di Yaman. Maka dengan demikian,
berakhirlah masa kekuasaan Dinasti Mamluk di Yaman
Selatan.
Selanjutnya, pemerintahan Dinasti Thahir juga tidak
diberi kekuasaan oleh pasukan Turki Usmani di Yaman. Maka dengan demikian
berakhirlah masa pemerintahan Dinasti Thahir dan resmilah Yaman berada di bawah
kekuasaan Turki Usmani.
BANI BU SA’ID DI
OMAN
A. DINASTI BANI BU SA’ID DI OMAN
Bani Bu Sa’id berasal dari Yaman yang pindah ke Oman.
Pada umumnya mereka adalah pedagang. Mereka pindah ke Oman diperkirakan sudah
sejak beratus-ratus tahun sebelum mereka tampil sebagai penguasa di wilayah
Oman. Seperti telah disebutkan pada bab sebelum ini, bahwa di Oman sebelum masa
pemerintahan Dinasti Bu Sa’id telah
memerintah Imam-imam Sekte Ibadiyah Khawarij (752-1507M) dengan 24 orang imam,
dan pemerintahan Bani Al-Ju’aribah (1624-1734M). (Maidir Harun, 2001:17).
Setelah masa
pemerintahan Bani Al-Ju’aribah, Oman dilanda kekacauan politik,sehingga
menimbulkan ketidak-stabilan kehidupan masyarakat. Sering terjadi perselisihan
dan peperangan antar suku dan kelompok. Melihat kondisi yang tidak baik ini
maka tampillah tokoh Bani Bu Sa’id untuk mengatasinya, yaitu Ahmad bin Sa’id.
B. Latar-belakang
berdiri
Pada mulanya Ahmad
bin Said adalah pejabat Bani Al-Ju’aribah dalam urusan ekonomi dan perdagangan.
Ia diangkat pada jabatan itu oleh Imam
Saif bin Sultan, kepala pemerintahan Bani Al-Ju’aribah. Ahmad bin Said memakai
gelar Imam Ibadhiyyah. (Boswort1980:105). Tetapi, kemudian terjadi perebutan
kekuasaan antara Imam Saif bin Sultan dengan Imam Sultan bin Mursyid, dari
keturunan Bani Al-Ju’aribah juga.
Dalam perebutan
kekuasaan ini, Imam Saif bin Sultan meminta bantuan kepada Nadir Syah dari
Kerajaan Shafawi di Persia. Permintaan tersebut dikabulkan oleh Nadir Syah dan
terjadilah peperangan. Dalam peperangan ini Imam Saif bin Sultan dan Imam
Sultan bin Mursyid sama-sama tewas. Imam Sultan
bin Mursyid tewas ketika ingin
mengusir pasukan Nadir Syah dari Kerajaan Shafawi keluar dari Oman.
Dengan peristiwa
tersebut terjadilah kekosongan kekuasaan atau pemerintahan di Oman. Kesempatan
ini dimamfaatkan oleh Ahmad bin Said, dari Bani Bu Sa’id. Ia ingin mengambil
alih kekuasaan dari Bani al-Ju’aribah. Untuk mencapai maksud tersebut, ia
mengumpulkan para ulama dan tokoh masyarakat Oman untuk membicarakan kondisi sosial-politik
yang sedang melanda wilayah Oman, setelah meninggal dunianya dua tokoh Bani
Al-Ju’aribah, yaitu Imam Saif bin Sultan dan Imam Sultan bin Mursyid. Keadaan
kekosongan kekasaan dan pemerintahan yang sedang melanda Oman tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut. Oleh sebab itu harus dipilih siapa yang akan diangkat
sebagai kepala pemerintahan di Oman. (Maidir Harun, 2001:17-18).
Berdasarkan
kesepakatan pertemuan antara Ahmad bin Said dengan para ulama dan tokoh
masyarakat Oman, setelah melalui perdebatan yang sengit dan alot akhirnya Ahmad
bin Said diangkat menjadi kepala pemerintahan wilayah Oman, dengan ibu kotanya
Masqat. Kesepakatan tersebut diambil berdasarkan kemampuan dan keberhasilan
Ahmad bin Said memimpin selama ini, sebagai pejabat dari Bani Al-Ju’aribah
dalam urusan ekonomi dan perdagangan. Dengan demikian, mulailah masa
pemerintahan Bani Bu said di Oman sampai dengan masa sekarang, yakni masa
pemerintahan Sultan Qabus.
Adapun Raja-Raja Yang Memerintah Bani Bu Sa’id Di Oman:
Ø Ahmad Ibn Sa’id
Ø Sa’id ibn Ahmad
Ø Hamid Ibn Sa’’id
Ø Sultan Ibn Ahmad
Ø Salim ibn Sultan
Ø Sa’id Ibn Sultan
Ø Tsuwayni ibn Sa’id
Ø Salim ibn Tsuwayni
Ø ‘Azzan ibn Qays
Ø Turki ibn Sa’id
Ø Fayshal ibn Turki
Ø Taymur ibn Fayshal
Ø Sa’id ibn Taymur
Ø Majid ibn Sa’id
Ø Barghash ibn Sa’id
Ø Khalifah ibn Barghash
Ø ‘Ali ibn Sa’id
Ø Hamid
Ø Hammud
Ø ‘Ali ibn Hammud
Ø Khalifah
Ø ‘Abdullah ibn Khalifah
Ø Jamsyid ibn Abdullah. (Boswort, 1980:104-105).
b. Perkembangan
Peradaban Islam
Ada beberapa bidang
kehidupan masyarakat yang dipandang mengalami kemajuan pada masa pemerintahan
Bani Bu Said di Oman, diantaranya adalah sebagai berikut :
Bidang
Politik dan Pemerintahan
Pada hakekatnya, mulanya sistem pemerintahan dan politik
yang dijalankan oleh Bani Bu Said di Oman adalah sistem pemerintahan dan
politik menurut paham Khawarij, terutama dalam pelaksanaan pemilihan imam oleh
Ahlul Ilmi. Tetapi,karena sering terjadi perselisihan dan konflik serta membawa
kepada perpecahan di tengah-tengah masyarakat, terutama antara kelompok yang
mendukung kepemimpinan seorang dengan kelompok yang menentangnya, maka
pemerintahan Bani Bu Said tidak melaksanakannya lagi. Sebagai gantinya dipakai
apa yang umum berlaku pada masa tersebut,yaitu sistem keturunan, Jabatan imam
diwariskan oleh seorang imam yang sedang memerintah kepada keturunannya,
seperti kepada anak, saudara, keponakan atau paman.
Namun demikian, sistem keturunan ini juga tidak
sempurna,karena tidak jelas mana yang lebih diutamakan atau didahulukan bila
terdapat dua orang atau lebih anak atau saudara dari imam yang sedang
memerintah. Oleh sebab itu, sistem keturunan ini pun tidak jarang menimbulkan
konflik dan pertentangan di antara keluarga imam. Yang paling ironis, seperti
yang pernah terjadi dalam masa pemerintahan Bani Bu Said di Oman ini adalah
seorang ayah yang sedang memerintah diturunkan oleh anaknya sendiri. Contohnya
imam ke-2, yaitu Imam Said bin Ahmad diturunkan
dari jabatannya oleh anaknya sendiri, yaitu Imam Hamid bin Said pada
tahun 1779M. Akibatnya, Imam Said bin Ahmad menyingkir ke kota Rustaq,
beratus-ratus kilometer dari Oman, sampai akhirnya ia
meninggal dunia di kota ini pada 1821M.
Selanjutnya, pemerintahan Bani Bu Said di Oman memiliki
ciri khas sebagai berikut : Kepala pemerintahan tidak memakai gelar imam, sebagaimana
yang lazim berlaku di kalangan golongan Khawarij. Kebijakan ini dilakukan
dengan beberapa alasan, diantaranya a) karena penduduk Masqat khususnya dan
Oman pada umumnya sangat heterogen dari sudut keyakinan agama dan etnis, b)
kepala pemerintahan lebih dominan mengurus urusan politik, dan c) sebahagian
besar kepala pemerintahan yang berkuasa tidak memenuhi syarat imam, sesuai
dengan konsep politik Khawarij.
Akibat kebijakan pemerintahan Imam-imam Bani Bu Said di
atas, maka hubungan antara pemerintahan Bani Bu Said dengan ulama dan tokoh
Khawarij makin lama makin renggang dan seolah-olah tidak ada hubungan sama
sekali. Oleh sebab itu, akhirnya ulama dan tokoh-tokoh Khawarij tidak mengakui
lagi adanya hubungan antara mereka dengan pemerintahan Bani Bu Said di Oman.
Kepala pemerintahan Bani Bu Said di Oman akhirnya lebih
senang memakai gelar said dari
pada imam Bahkan, setelah Oman
memasuki zaman modern, kepala pemerintahannya memakai gelar sultan, seperti
Sultan Qabus bin Said, yang memerintah sejak tahun 1970 sampai dengan sekarang.
Padahal, gelar kepala pemerintahan yang menggunakan istilah sultan hanya
berlaku di kalangan Suni, yang dimulai sejak masa pemerintahan Daulah Abbasiyah
mulai mengakui kepala pemerintahan di luar atau di dalam kota Bagdad. Sejak
saat itu jabatan khalifah dipegang oleh Bani Abbasiyah, sedangkan jabatan
sultan boleh dijabat oleh siapa saja di luar keturunan Bani Abbasiyah. (Maidir
Harun, 2001:19-20).
PENUTUP
Dinasti Thahiriyyah didirikan oleh Thahir ibn Husein pada
205 di Naisabur, Khurasan, Persia. Ia merupakan kelompok etnis pertama di Timur
Bagdad yang memperoleh semacam otonomi dari pemerintahan Bagdad. Thahir ibn
Husein merupakan seorang jenderal pada masa khalifah Dinasti Abbasiyah. Thahir
ibn Husein lahir di Marv pada 159 H dan berasal dari seorang keturunan wali
Abbasiyah di Marv dan Harrah, Khurasan, Persia bernama Mash’ab ibn Zuraiq.
Bani Bu Sa’id berasal dari Yaman yang pindah ke Oman.
Pada umumnya mereka adalah pedagang. Mereka pindah ke Oman diperkirakan sudah
sejak beratus-ratus tahun sebelum mereka tampil sebagai penguasa di wilayah
Oman. Seperti telah disebutkan pada bab sebelum ini, bahwa di Oman sebelum masa
pemerintahan Dinasti Bu Sa’id telah
memerintah Imam-imam Sekte Ibadiyah Khawarij (752-1507M) dengan 24 orang imam,
dan pemerintahan Bani Al-Ju’aribah (1624-1734M). (Maidir Harun, 2001:17).
Setelah masa pemerintahan Bani Al-Ju’aribah, Oman dilanda
kekacauan politik,sehingga menimbulkan ketidak-stabilan kehidupan masyarakat.
Sering terjadi perselisihan dan peperangan antar suku dan kelompok. Melihat
kondisi yang tidak baik ini maka tampillah tokoh Bani Bu Sa’id untuk
mengatasinya, yaitu Ahmad bin Sa’id.
DAFTAR
PERPUSTAKAAN
Bosworth, C.E, Dinasti-Dinasti Islam,
Endinburgh: University Pres, 1980.
Harun, Maidir, Kumpulan Makalah Mata
Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam III,
Padang, 2001.
K. Hitti, Philip, History Of The
Arabs, New York: Palgrave Macmillan, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar