Mengali
sejarah dalam karya Taufik Ismail Tirani dan Benteng
1. Latar
Belakang Masalah
Beribicara tentang sejarah pasti tidak
lepas dari peristiwa di masa lalu yang dilakukan oleh manusia dalam kerang
waktu tertentu. Peristiwa di masa lalu itu hanya akan terjadi satu kali dalam
perederan bumi ini hingga saatnya berhenti untuk bergerak dari porosnya.
Sebagaimana yang dikatakan Moh Ali dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia bahwa
sejarah itu merupakan kejadian-kejadian (peristiwa) yang behubungan dengan
nyata di dalam manusia di masa lalu. Sejarah itu adalah kisah-kisah yang
tersusun secara sitesmati dari kejadian-kejadian dimasa lalu. Sejarah juga di
artikan sebuah ilmu yang bertugas menyelidiki perkembangan Negara dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di Negara di masa lalu.[1]
Untuk mempelajari dan mengetahaui
sejarah, dapat dengan berbagai cara. Beberapa diantaranya adalah melalui
buku-buku sejarah, melalui film-film dokumenter yang bercerita tentang sejarah,
dan juga berdialog dengan pelaku sejarah.
Dari ketiga cara yang dilakukan dalam
mengenali dan mempelajari sejarah tadi, mungkin poin pertama dari sebagian
kalangan merupakan hal membosankan. Apalagi jika bukunya memiliki jumlah
halaman yang banyak, tentu akan membuat jenuh. Namun jika catatan mengenai
sejarah disalin dalam bentuk karya sastra, setidaknya kebosanan itu dapat
dikurangi. Dengan bahasa yang memiliki nilai estetis, tentunya mampu menjadikan
pembaca tertarik untuk membacanya.
Karya sastra tidak sekadar tulisan yang
bernilai estetis. Seluk-beluk kehidupan manusia, menjadi lahan dalam proses
penciptaannya. Dinamika politik, hukum, dan keamanan, serta aktifitas sosial
manusia lainnya, terdapat dalam karya sastra. Tidak terkecuali peristiwa masa
lampau seperti sejarah. Hal ini menjadi tanda, bahwa karya sastra tidak dari
suatu ruang yang kosong, melainkan cerminan dari kehidupan manusia.
Karya
sastra kental dengan nilai subyektivitas. Ia terlahir dari kontemplasi
penulisnya. Latar belakang kultur, emosi dan kondisi saat penulis berkarya
sangat mempengaruhi sebuah karya. Hakekat sastra memiliki jiwa karena dianyam dengan
rasa.
Dalam catatan Juzif al-Hasyim
beberapa defenisi modern tentang sastra adalah sebagai berikut:
“Sastra adalah ungkapan puitis tentang
berbagai pengalaman manusia”.
“Sastra adalah ungkapan tentang
kehidupan dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya”.
“Sastra adalah hasil pemikiran
manusia yang di ungkapkan dengan ungkapan yang mengandung seni keindahan”.[2]
Karya sastra
tidak akan terkenal dengan begitu saja,
melainkan ia bergerak di tengah-tengah kenyataan sejarah yang mengikatnya, yang
kemudian memberinya nilai-nilai. Pengarang tidak bisa tidak, terikat atau
secara tidak langsung senantiasa mengikatkan diri mereka pada nilai-nilai itu.
Pengarang juga tidak bisa tidak mesti menyadari lingkungan sosio-historisnya.
Sebagaimana Arif Agus Prasetyo mengatakan bahwa sastra tak pernah lahir dalam
tabung vakum sejarah. Sastra, menurut Agus lagi, menyediakan ruang bagi
ingatan.[3] Sahlam Moh. Saman juga menambahkan bahwa didalam karya sastra
pasti terkandung elemen-elemen sosial, psikologi, sejarah, ekonomi, falsafah,
agama, sains, matematik dan lain-lainnya. Disamping elemen kesusastraan itu
sendiri sebagai dasarnya, hanya penekanan elemen-elemen itu saja yang
dibeda-bedakan penulisannya menurut kesimpulan awal karya yang ingin
dihasilkannya. Penulis mempunyai sebab tersendiri kenapa ia menulis karya
tertentu.[4]
Disini dapat kita lihat bahwa karya
sastra merupakan suatu tulisan fiksi, yang terdapat imajinasi dari si penulis.
Namun, tidak terlepas dari realitas kehidupan manusia. Membaca sejarah dalam
karya sastra, memang tidak dapat menjadi bahan rujukan pasti, dengan alasan
suatu karya fiksi. Namun tidak juga terlepas dari peristiwa yang dialami oleh
si penulis. Di sinilah pembaca sastra berperan, menjelaskan dan menganalisa
dengan interpretasinya. Pembaca secara bebas memaknai teks tersebut. Ini lah
keunikan dan hal yang menyenangkan dalam mengenali sejarah pada karya sastra.
Pembaca tidak jenuh dengan bacaan sejarah, nilai-nilai estetis dan interpretasi
pembaca, setidaknya dapat menjadikan bacaan sejarah dalam karya sastra tidak
membosankan.
Belajar
sejarah tak selalu dari buku-buku Sejarah di sekolah. Ada banyak cara untuk
belajar sejarah, salah satunya melalui sastra. Hal ini dapat dilihat dalam
antologi puisi-puisi yang dirangkum dalam sebuah buku Tirani dan Benteng karangan
Taufik Ismail. Dimana puisi-puisi ini terlahir sesuai denga konteks zamannya
yang dikatakan sebagai sebuah karya berunsur sejarahnya. Puisi-puisi Tirani dan
Benteng ini mampu menggambarkan bagaimana kehidupan kebudayaan, fenomena,
politik dan pemerintahan yang terjadi di Indonesia pada saat itu. Kumpulan puisi Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail, merupakan suatu catatan sejarah.
Dengan jelas, setiap syair yang ditulis banyak menceritakan peristiwa
bersejarah di tahun penulisannya. Seperti peristiwa demonstrasi besar-besaran, pengekangan
para sastrawan dan budayawan, serta
gerakan PKI.
Menganalisis sejarah dalam karya
sastra, merupakan perspektif memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di
dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan.
Taufiq Ismail menuliskan dalam kata pengantar tersebut bahwa “sebagai rakyat di
negeri baru merdeka, keinginan untuk bebas dari penderitaan-penderitaan
hidup, bebas dari rasa takut dan bebas menyampaikan pendapat terasa cuma jadi
cita-cita yang indah saja. Sejak pencanangan Demokrasi Terpimpin dan peluncuran
bahan indoktrinasi yang terkenal dengan singkatan Manipol Usdek (Manifesto
Politik dan UUD 45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin Kepribadian
Indoneisa) oleh Presiden Soekarno pada pidato kenegaraan 17 Agustus 1959, yang
diusul dengan konsep Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) yang dipaksakan untuk
diterapkan pada seluruh serta setiap kegiatan bernegara dan bermasyarakat, maka
Partai Komunis Indonesia yang sudah lama mengintai-ngintai segera memanfaatkan
kesempatan emas ini”.[5]
Pada kata
pengantar antologi
puisinya ini, Taufiq Ismail begitu gelisah terhadap negerinya ini (Indonesia).
Walaupun telah merdeka, namun penindasan dan penjajahan masih ada, tapi dengan pelaku yang
berbeda. Dahulu penjajah dilakoni oleh negara lain seperti Belanda dan Jepang, namun
pada saat itu Indonesia
dijajah oleh bangsanya sendiri. Bahwa adanya gerakan PKI yang menyiksa rakyat, tak
terkecuali para pemikir negeri ini, serta sastrawan dan budayawan. Saat itu, merupakan masa
ketidakbebasan. Tidak bebas dalam perpendapat, berkarya dan memilih.
Puisi-puisi
Tirani dan Benteng menggarap tema kecemasan, kesangsian, kebebasan, harapan,
angan-angan, cita-cita dan tekad.[6]
Dalam pengarapan tema di sana-sini akan tersirat angka thermometer emosi zaman
dan barometer politik negeri ini. Umumnya sajak-sajak dari Taufik Ismail tak
dapat dipisahkan dari nafas demontrasi yang terkenal dengan Tirani dan Benteng,
yang pertama kali di umumkan di tengah-tengah demonstrasi para mahasiswa dan
pelajar pada tahun 1966. Bahkan sebagian besar isi dari puisi Tirani Dan
Benteng ini banyak mengandung protes sosial, dan protes politik PKI pada masa
itu.[7]
Berdasarkan
tema dan peristiwa dasarnya, puisi-puisi yang ditulis oleh Taufik Ismail
berkaitan dengan konteks sejarah yang terjadi pada saat itu. Pada dasarnya
disebabkan oleh kehidupan yang melatarbelakangi pemikiran pengarang untuk
menulis puisi-puisi yang sangat mengahrukan bagi kita selaku anak bangsa yang
kemudian beliua analogikan kedalam sebuah buku Tirani dan Benteng. Dimana sang
pengarang menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia pada tahun 1960
sampai 1966. Hal tersebut disebabkan
karena karya sastra merupakan cerminan masyarakat dan karya sastra adalah
ekpresi pengarangnya. Bagaimana pandangan dan perasaan pengarang terhadap suatu
peristiwa akan tercurah ke dalam karya-karya yang ditulisnya. Ini lantaran
biasanya pengarang akan sangat dekat dengan latar belakang masyarakatnya dimana
ia menjadi anggota dari masyarakat itu. Biasanya persoalan yang terjadi dalam
masyarakat akan direduksi menjadi karya sastra seperti yang ditulis oleh Taufik
Ismail.
Puisi-puisi
yang dikarang oleh Taufik Ismail ini disebut juga dengan angkatan 66. Hal ini
juga di katakana oleh Abdul Waihid B.S dalam bukunya sastra pencerahan. Karya
sastra yang terlahir di masa ini merupakan sebuah kreatifitas dari kampus yang
memprotes masalah fenomena di negeri ini. Setidaknya hal itu menguat dan
menjadi fenomenal di zaman 1960-an sampai 1998. Hal ini surut dengan pergantian
rezim kekuasaan Soeharto. Angkatan 66 dideklarasikan dengan munculnya manifas
kebudayaan, kemudian ditahbiskan oleh H.B Jassin sebagai tajuk angkatan 66
dengan ditandai terbitnya 2 jilid buku dengan tajuk angkatan 66. Hal ini jelas
mengambarkan bagaimana menjadi basis kreativitas dari kampus. Tokoh-tokoh
sastra pada saat itu adalah seperti Rendra, Taufik Ismail, Slamet Sukirnanto
dan bayak lagi yang lainnya.[8]
Sejumlah
73 puisi Taufiq Ismail yang terdapat dalam buku puisi Tirani dan Benteng ini
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Puisi-puisi Menjelang Tirani dan Benteng,
Tirani, dan Benteng. Puisi-puisi pada bagian Puisi-puisi Menjelang Tirani dan
Benteng ditulis Taufiq antara tahun 1960 sampai 1965. Sedangkan puisi-puisi
pada bagian Tirani dan Benteng ditulisnya pada hari-hari demonstrasi tahun
1966. Puisi-puisi dalam buku Taufiq Ismail ini bertemakan tentang kecemasan,
kesangsian, kebebasan, harapan, angan, cita-cita, dan tekad.
Dalam beberapa puisi Taufik Ismail dalam
kumpulan Tirani dan Benteng bagian pertama (menjelang Tirani dan benteng) juga
mengambarkan kehidupan keluarganya serta masyarakat lain yang dihimpit
kesulitan ekonomi pada saat itu. Kesederhanaan yang dituangkan Taufik pada
bait-bait puisinya begitu mengesankan dan menarik kita untuk memasuki sekaligus
memahami penderitian masyarakat yang dililit kemiskinan yang begitu kental.
Musim kemarau dan serangan hama yang terjadi pada masa itu membuat panen petani
mengalami kegagalan. Keacuhan pemerintah menambah daftar hitam penyebab
kelaparan yang terjadi di negeri tercinta ini.
Kisah sejarah yang terjadi di Indonesia
juga dilukisakan dalam puisi Taufik Ismail yang berbentuk catatan haraian.
Dalam puisi ini kita dapat merasakan betapa mendambahkan seorang Taufik Ismail
tentang kemerdekaan dalam berkarya maupun dalam sendi kehidupan. Hal ini dapat
kita lihat dalam puisinya yang berjudul 2 September 1965, Pagi, Senja, Pikiran
Sesudah Makan Malam, dan Sesudah Dua Puluh Tahun (setelah merdeka).
Akhir dari puisi Menjelang Tirani dan
Benteng ditutup oleh lembaran hitam sejarah Indonesia. Disini Taufik Ismail
melihatkan kepada kita bahwa pada waktu itu PKI tumbuh subur bak jamur di musim
hujan di bangsa Indonesia ini. Dalam Tirani Dan Benteng dalam kata pengantar
Taufik Ismail mengatakan juga bahwa politik PKI yang efesien, punya dana kuat
dari bantuan Moskow-Peking dan makin lama makin besar anggotanya (3 Juta di
Partai, 12 juta di organisasi masa) terus mendempet Presiden Sukarno untuk
memanfaatkan pembungkaman demokrasi dan pembrangusan ekspresi politik terhadap
lawan-lawan tangunhnya. Salah satu lawan tanguh PKI yang sudah berpengalaman
adalah TNI-AD.[9]
Dengan bantuan Moskow-Peking dan lemahnya pemerintahan Soekarno membuat PKI menepuk dada. Semua organisasi yang
menjadi saingannya satu persatu di lenyapkan termasuk media masa yang tidak
mendukung propaganda PKI.
Keterbelakangan
pendidikan di Indonesia dimanfaatkan dengan baik oleh PKI. Lapisan masyarakat
bawah-buruh dan tani dicecoki oleh janji manis PKI bila ia berkuasa di
Indonesia. Buruh dan tani mendukung penuh tetapi mereka tidak tahu wajah asli
di balik topeng sama rasa sama rata. Hebatnya lagi PKI seperti virus influenza,
mampu merasuk ke kampus-kampus tempat dicetaknya orang-orang pintar. Kecerugian
terjadi dimana-mana, karena PKI berhasil naik daun hal ini di lukiskan dalam
puisi Taufik Ismail yang berjudul Catatan Tahun 1965.
Puncak kekejaman PKI dilukiskan juga
oleh Taufik Ismail dalam puisinya Oktober Hitam. Puisi ini mengambarkan kepada
kita bahwa ada anak bangsa ini yang telah dikhianati dan bahkan dibunuh denga
sadis. Dimana tujuh nama yang masuk dalam blacklist PKI, hanya satu yang
selamat yaitu A. H. Nasution itupun harus di bayar dengan pengorbanan putrid
mungilnya Ade Irma Suryani dan ajudannya Pierre Tendean. Hal ini juga dikatakan
Poerwantana dalam bukunya Partai Politik Di Indonesia bahwa PKI pada tanggal 30
September 1965 mempersiapkan gerakannya, dan pada pagi-pagi buta Jumat tanggal
1 Oktober 1965 terjadilah penculikan dan pembunuhan secara biadab diluar batas
perikemanusian yang dilakukan oleh pasukan G30 SPKI terhadap Menteri/Panglima
Angkatan Darat/Kepala Staf Komandan Tertinggi Jenderal TNI A. Yani, Deputy II Men/Pangad Jenderal
TNI Haryono MT, Ass I Men/Pengad Mayor Jenderal TNI S. Parman, Ass IV
Men/Pangad Brigjend TNI. D.I Panjaitan, Irkeh-Ojen Brigjend. TNI Sutoyo
Siswomiharja dan yang terakhir Jenderal Nasution yang berhasil selamat.[10]
[1]
Moh Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Lkis, 2005, hal. 12.
[2]
Wildana Wargadinata & Laily Fitriani, Sastar Arab dan Lintas Budaya,
Malang: UIN-Malang Prees, 2008 hal:19-20.
[3] Arif Agus
Prasetyo, Prosa, Jakarta: Metafor Publishing, h.3
[4] Sahlan Mohd,
Saman, Novel-Novel Perang Kesusastrann Malaysia, Indonesia dan Fhilipina,
Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001, h.46
[5]
Taufik Ismail, Tirani dan Benteng, Jakarta: Yayasan Ananda, 1993 hal, X
[6]
Taufik Ismail, Tirani dan Benteng, Jakarta: Yayasan Ananda, 1993 hal:ix.
[7]
Ajib Rosidi, Sejarah sastra Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara Cet Ke-2 1988,
hal 55.
[8]
Abdul Wachid, Puisi Menolak Lupa, Yogyakarta:Obsesi Press, 2010, hal:3.
[9]
Taufik Ismail, Op, Cit, hal X.
[10]
PK. Poerwantana, Partai Politik DI Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994,
hal: 70-71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar