Minggu, 29 September 2013

Mengali sejarah dalam karya Taufik Ismail Tirani dan Benteng



Mengali sejarah dalam karya Taufik Ismail Tirani dan Benteng
1.      Latar Belakang Masalah
Beribicara tentang sejarah pasti tidak lepas dari peristiwa di masa lalu yang dilakukan oleh manusia dalam kerang waktu tertentu. Peristiwa di masa lalu itu hanya akan terjadi satu kali dalam perederan bumi ini hingga saatnya berhenti untuk bergerak dari porosnya. Sebagaimana yang dikatakan Moh Ali dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia bahwa sejarah itu merupakan kejadian-kejadian (peristiwa) yang behubungan dengan nyata di dalam manusia di masa lalu. Sejarah itu adalah kisah-kisah yang tersusun secara sitesmati dari kejadian-kejadian dimasa lalu. Sejarah juga di artikan sebuah ilmu yang bertugas menyelidiki perkembangan Negara dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Negara di masa lalu.[1]
Untuk mempelajari dan mengetahaui sejarah, dapat dengan berbagai cara. Beberapa diantaranya adalah melalui buku-buku sejarah, melalui film-film dokumenter yang bercerita tentang sejarah, dan juga berdialog dengan pelaku sejarah.
Dari ketiga cara yang dilakukan dalam mengenali dan mempelajari sejarah tadi, mungkin poin pertama dari sebagian kalangan merupakan hal membosankan. Apalagi jika bukunya memiliki jumlah halaman yang banyak, tentu akan membuat jenuh. Namun jika catatan mengenai sejarah disalin dalam bentuk karya sastra, setidaknya kebosanan itu dapat dikurangi. Dengan bahasa yang memiliki nilai estetis, tentunya mampu menjadikan pembaca tertarik untuk membacanya. 
Karya sastra tidak sekadar tulisan yang bernilai estetis. Seluk-beluk kehidupan manusia, menjadi lahan dalam proses penciptaannya. Dinamika politik, hukum, dan keamanan, serta aktifitas sosial manusia lainnya, terdapat dalam karya sastra. Tidak terkecuali peristiwa masa lampau seperti sejarah. Hal ini menjadi tanda, bahwa karya sastra tidak dari suatu ruang yang kosong, melainkan cerminan dari kehidupan manusia.
Karya sastra kental dengan nilai subyektivitas. Ia terlahir dari kontemplasi penulisnya. Latar belakang kultur, emosi dan kondisi saat penulis berkarya sangat mempengaruhi sebuah karya. Hakekat sastra memiliki jiwa karena dianyam dengan rasa.
Dalam catatan Juzif al-Hasyim beberapa defenisi modern tentang sastra adalah sebagai berikut:
            Sastra adalah ungkapan puitis tentang berbagai pengalaman manusia”.
“Sastra adalah ungkapan tentang kehidupan dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya”.
“Sastra adalah hasil pemikiran manusia yang di ungkapkan dengan ungkapan yang mengandung seni keindahan”.[2]
Karya sastra tidak akan  terkenal dengan begitu saja, melainkan ia bergerak di tengah-tengah kenyataan sejarah yang mengikatnya, yang kemudian memberinya nilai-nilai. Pengarang tidak bisa tidak, terikat atau secara tidak langsung senantiasa mengikatkan diri mereka pada nilai-nilai itu. Pengarang juga tidak bisa tidak mesti menyadari lingkungan sosio-historisnya. Sebagaimana Arif Agus Prasetyo mengatakan bahwa sastra tak pernah lahir dalam tabung vakum sejarah. Sastra, menurut Agus lagi, menyediakan ruang bagi ingatan.[3] Sahlam Moh. Saman juga menambahkan bahwa didalam karya sastra pasti terkandung elemen-elemen sosial, psikologi, sejarah, ekonomi, falsafah, agama, sains, matematik dan lain-lainnya. Disamping elemen kesusastraan itu sendiri sebagai dasarnya, hanya penekanan elemen-elemen itu saja yang dibeda-bedakan penulisannya menurut kesimpulan awal karya yang ingin dihasilkannya. Penulis mempunyai sebab tersendiri kenapa ia menulis karya tertentu.[4]
Disini dapat kita lihat bahwa karya sastra merupakan suatu tulisan fiksi, yang terdapat imajinasi dari si penulis. Namun, tidak terlepas dari realitas kehidupan manusia. Membaca sejarah dalam karya sastra, memang tidak dapat menjadi bahan rujukan pasti, dengan alasan suatu karya fiksi. Namun tidak juga terlepas dari peristiwa yang dialami oleh si penulis. Di sinilah pembaca sastra berperan, menjelaskan dan menganalisa dengan interpretasinya. Pembaca secara bebas memaknai teks tersebut. Ini lah keunikan dan hal yang menyenangkan dalam mengenali sejarah pada karya sastra. Pembaca tidak jenuh dengan bacaan sejarah, nilai-nilai estetis dan interpretasi pembaca, setidaknya dapat menjadikan bacaan sejarah dalam karya sastra tidak membosankan.
Belajar sejarah tak selalu dari buku-buku Sejarah di sekolah. Ada banyak cara untuk belajar sejarah, salah satunya melalui sastra. Hal ini dapat dilihat dalam antologi puisi-puisi yang dirangkum dalam sebuah buku Tirani dan Benteng karangan Taufik Ismail. Dimana puisi-puisi ini terlahir sesuai denga konteks zamannya yang dikatakan sebagai sebuah karya berunsur sejarahnya. Puisi-puisi Tirani dan Benteng ini mampu menggambarkan bagaimana kehidupan kebudayaan, fenomena, politik dan pemerintahan yang terjadi di Indonesia pada saat itu. Kumpulan puisi Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail, merupakan suatu catatan sejarah. Dengan jelas, setiap syair yang ditulis banyak menceritakan peristiwa bersejarah di tahun penulisannya. Seperti peristiwa demonstrasi besar-besaran, pengekangan para sastrawan dan budayawan, serta gerakan PKI.
Menganalisis sejarah dalam karya sastra, merupakan perspektif memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. Taufiq Ismail menuliskan dalam kata pengantar tersebut bahwa “sebagai rakyat di negeri baru merdeka, keinginan untuk bebas dari penderitaan-penderitaan hidup, bebas dari rasa takut dan bebas menyampaikan pendapat terasa cuma jadi cita-cita yang indah saja. Sejak pencanangan Demokrasi Terpimpin dan peluncuran bahan indoktrinasi yang terkenal dengan singkatan Manipol Usdek (Manifesto Politik dan UUD 45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin Kepribadian Indoneisa) oleh Presiden Soekarno pada pidato kenegaraan 17 Agustus 1959, yang diusul dengan konsep Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) yang dipaksakan untuk diterapkan pada seluruh serta setiap kegiatan bernegara dan bermasyarakat, maka Partai Komunis Indonesia yang sudah lama mengintai-ngintai segera memanfaatkan kesempatan emas ini”.[5]
Pada kata pengantar antologi puisinya ini, Taufiq Ismail begitu gelisah terhadap negerinya ini (Indonesia). Walaupun telah merdeka, namun penindasan dan penjajahan masih ada, tapi dengan pelaku yang berbeda. Dahulu penjajah dilakoni oleh negara lain seperti Belanda dan Jepang, namun pada saat itu Indonesia dijajah oleh bangsanya sendiri. Bahwa adanya gerakan PKI yang menyiksa rakyat, tak terkecuali para pemikir negeri ini, serta sastrawan dan budayawan. Saat itu, merupakan masa ketidakbebasan. Tidak bebas dalam perpendapat, berkarya dan memilih.
Puisi-puisi Tirani dan Benteng menggarap tema kecemasan, kesangsian, kebebasan, harapan, angan-angan, cita-cita dan tekad.[6] Dalam pengarapan tema di sana-sini akan tersirat angka thermometer emosi zaman dan barometer politik negeri ini. Umumnya sajak-sajak dari Taufik Ismail tak dapat dipisahkan dari nafas demontrasi yang terkenal dengan Tirani dan Benteng, yang pertama kali di umumkan di tengah-tengah demonstrasi para mahasiswa dan pelajar pada tahun 1966. Bahkan sebagian besar isi dari puisi Tirani Dan Benteng ini banyak mengandung protes sosial, dan protes politik PKI pada masa itu.[7]
Berdasarkan tema dan peristiwa dasarnya, puisi-puisi yang ditulis oleh Taufik Ismail berkaitan dengan konteks sejarah yang terjadi pada saat itu. Pada dasarnya disebabkan oleh kehidupan yang melatarbelakangi pemikiran pengarang untuk menulis puisi-puisi yang sangat mengahrukan bagi kita selaku anak bangsa yang kemudian beliua analogikan kedalam sebuah buku Tirani dan Benteng. Dimana sang pengarang menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia pada tahun 1960 sampai 1966. Hal tersebut disebabkan karena karya sastra merupakan cerminan masyarakat dan karya sastra adalah ekpresi pengarangnya. Bagaimana pandangan dan perasaan pengarang terhadap suatu peristiwa akan tercurah ke dalam karya-karya yang ditulisnya. Ini lantaran biasanya pengarang akan sangat dekat dengan latar belakang masyarakatnya dimana ia menjadi anggota dari masyarakat itu. Biasanya persoalan yang terjadi dalam masyarakat akan direduksi menjadi karya sastra seperti yang ditulis oleh Taufik Ismail.
Puisi-puisi yang dikarang oleh Taufik Ismail ini disebut juga dengan angkatan 66. Hal ini juga di katakana oleh Abdul Waihid B.S dalam bukunya sastra pencerahan. Karya sastra yang terlahir di masa ini merupakan sebuah kreatifitas dari kampus yang memprotes masalah fenomena di negeri ini. Setidaknya hal itu menguat dan menjadi fenomenal di zaman 1960-an sampai 1998. Hal ini surut dengan pergantian rezim kekuasaan Soeharto. Angkatan 66 dideklarasikan dengan munculnya manifas kebudayaan, kemudian ditahbiskan oleh H.B Jassin sebagai tajuk angkatan 66 dengan ditandai terbitnya 2 jilid buku dengan tajuk angkatan 66. Hal ini jelas mengambarkan bagaimana menjadi basis kreativitas dari kampus. Tokoh-tokoh sastra pada saat itu adalah seperti Rendra, Taufik Ismail, Slamet Sukirnanto dan bayak lagi yang lainnya.[8]
Sejumlah 73 puisi Taufiq Ismail yang terdapat dalam buku puisi Tirani dan Benteng ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Puisi-puisi Menjelang Tirani dan Benteng, Tirani, dan Benteng. Puisi-puisi pada bagian Puisi-puisi Menjelang Tirani dan Benteng ditulis Taufiq antara tahun 1960 sampai 1965. Sedangkan puisi-puisi pada bagian Tirani dan Benteng ditulisnya pada hari-hari demonstrasi tahun 1966. Puisi-puisi dalam buku Taufiq Ismail ini bertemakan tentang kecemasan, kesangsian, kebebasan, harapan, angan, cita-cita, dan tekad.
Dalam beberapa puisi Taufik Ismail dalam kumpulan Tirani dan Benteng bagian pertama (menjelang Tirani dan benteng) juga mengambarkan kehidupan keluarganya serta masyarakat lain yang dihimpit kesulitan ekonomi pada saat itu. Kesederhanaan yang dituangkan Taufik pada bait-bait puisinya begitu mengesankan dan menarik kita untuk memasuki sekaligus memahami penderitian masyarakat yang dililit kemiskinan yang begitu kental. Musim kemarau dan serangan hama yang terjadi pada masa itu membuat panen petani mengalami kegagalan. Keacuhan pemerintah menambah daftar hitam penyebab kelaparan yang terjadi di negeri tercinta ini.
Kisah sejarah yang terjadi di Indonesia juga dilukisakan dalam puisi Taufik Ismail yang berbentuk catatan haraian. Dalam puisi ini kita dapat merasakan betapa mendambahkan seorang Taufik Ismail tentang kemerdekaan dalam berkarya maupun dalam sendi kehidupan. Hal ini dapat kita lihat dalam puisinya yang berjudul 2 September 1965, Pagi, Senja, Pikiran Sesudah Makan Malam, dan Sesudah Dua Puluh Tahun (setelah merdeka).
Akhir dari puisi Menjelang Tirani dan Benteng ditutup oleh lembaran hitam sejarah Indonesia. Disini Taufik Ismail melihatkan kepada kita bahwa pada waktu itu PKI tumbuh subur bak jamur di musim hujan di bangsa Indonesia ini. Dalam Tirani Dan Benteng dalam kata pengantar Taufik Ismail mengatakan juga bahwa politik PKI yang efesien, punya dana kuat dari bantuan Moskow-Peking dan makin lama makin besar anggotanya (3 Juta di Partai, 12 juta di organisasi masa) terus mendempet Presiden Sukarno untuk memanfaatkan pembungkaman demokrasi dan pembrangusan ekspresi politik terhadap lawan-lawan tangunhnya. Salah satu lawan tanguh PKI yang sudah berpengalaman adalah TNI-AD.[9] Dengan bantuan Moskow-Peking dan lemahnya pemerintahan Soekarno membuat  PKI menepuk dada. Semua organisasi yang menjadi saingannya satu persatu di lenyapkan termasuk media masa yang tidak mendukung propaganda PKI.
Keterbelakangan pendidikan di Indonesia dimanfaatkan dengan baik oleh PKI. Lapisan masyarakat bawah-buruh dan tani dicecoki oleh janji manis PKI bila ia berkuasa di Indonesia. Buruh dan tani mendukung penuh tetapi mereka tidak tahu wajah asli di balik topeng sama rasa sama rata. Hebatnya lagi PKI seperti virus influenza, mampu merasuk ke kampus-kampus tempat dicetaknya orang-orang pintar. Kecerugian terjadi dimana-mana, karena PKI berhasil naik daun hal ini di lukiskan dalam puisi Taufik Ismail yang berjudul Catatan Tahun 1965.
Puncak kekejaman PKI dilukiskan juga oleh Taufik Ismail dalam puisinya Oktober Hitam. Puisi ini mengambarkan kepada kita bahwa ada anak bangsa ini yang telah dikhianati dan bahkan dibunuh denga sadis. Dimana tujuh nama yang masuk dalam blacklist PKI, hanya satu yang selamat yaitu A. H. Nasution itupun harus di bayar dengan pengorbanan putrid mungilnya Ade Irma Suryani dan ajudannya Pierre Tendean. Hal ini juga dikatakan Poerwantana dalam bukunya Partai Politik Di Indonesia bahwa PKI pada tanggal 30 September 1965 mempersiapkan gerakannya, dan pada pagi-pagi buta Jumat tanggal 1 Oktober 1965 terjadilah penculikan dan pembunuhan secara biadab diluar batas perikemanusian yang dilakukan oleh pasukan G30 SPKI terhadap Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komandan Tertinggi Jenderal  TNI A. Yani, Deputy II Men/Pangad Jenderal TNI Haryono MT, Ass I Men/Pengad Mayor Jenderal TNI S. Parman, Ass IV Men/Pangad Brigjend TNI. D.I Panjaitan, Irkeh-Ojen Brigjend. TNI Sutoyo Siswomiharja dan yang terakhir Jenderal Nasution yang berhasil selamat.[10]





[1] Moh Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Lkis, 2005, hal. 12.
[2] Wildana Wargadinata & Laily Fitriani, Sastar Arab dan Lintas Budaya, Malang: UIN-Malang Prees, 2008 hal:19-20.
[3] Arif Agus Prasetyo, Prosa, Jakarta: Metafor Publishing, h.3
[4] Sahlan Mohd, Saman, Novel-Novel Perang Kesusastrann Malaysia, Indonesia dan Fhilipina, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001, h.46
[5] Taufik Ismail, Tirani dan Benteng, Jakarta: Yayasan Ananda, 1993 hal, X
[6] Taufik Ismail, Tirani dan Benteng, Jakarta: Yayasan Ananda, 1993 hal:ix.
[7] Ajib Rosidi, Sejarah sastra Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara Cet Ke-2 1988, hal 55.
[8] Abdul Wachid, Puisi Menolak Lupa, Yogyakarta:Obsesi Press, 2010, hal:3.
[9] Taufik Ismail, Op, Cit, hal X.
[10] PK. Poerwantana, Partai Politik DI Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, hal: 70-71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar